Seks
dalam pengertian sesungguhnya sangat berbeda jauh dengan yang dipahami remaja.
Secara teoritis, Sigmun Freud (Kartono, 2007:221),
menyatakan bahwa seks merupakan “libido
sexualis”, yaitu energi psikis yang ikut mendorong manusia untuk aktif
bertingkah laku. Tidak hanya berbuat di bidang seks saja, yaitu melakukan
relasi seksual atau bersenggama/berhubungan badan, akan tetapi juga melakukan
kegiatan-kegiatan nonseksual seperti berprestasi di berbagai bidang ilmu
pengetahuan.
Tetapi akibat kesalahpahaman terhadap seks berikut dimensi-dimensinya, seks
secara negatif berkembangan pada remaja, para remaja tidak segan atau takut memanfaatkan ruang dan waktu untuk
menjalin relasi seksual dengan pasangannya masing-masing (Sebahagian dari
tulisan ini/kecuali kutipan tambahan telah dimuat dalam Jurnal Hipotesis. Volume 4. Nomor 3. Juli – September 2012. LPPM
Universitas Sawerigading Makassar – La Ode Muhammad Deden Marrah Adil,
S.Pd., M.Pd)
Dalam peta keilmuan, seks bebas
dapat digolongkan dalam paradigma fakta sosial karena menyangkut nilai dan
norma, sebagaimana dikemukakan Durkheim (Ritzer, 2010:14). Maka sebagai fakta
sosial, seks yang dilakukan remaja dilakukan atas dasar keinginan untuk
memperoleh kesenangan/kenikmatan, dan bukan untuk dipertukarkan dengan sesuatu
yang lain, misalnya melayani untuk menyenangkan orang lain sehingga memperoleh
upah dari hal tersebut. Dalam perspektif ini, seks bebas merupakan salah satu
bentuk pelanggaran nilai dan norma kebudayaan masyarakat. Nilai berarti kualitas
sistem sosial masyarakat, sedangkan norma adalah tata tertib atau aturan-aturan
standar yang menjadi pegangan masyarakat dalam bertingkahlaku agar terwujud
keteraturan sosial (normatif). Namun demikian, seks bebas sebagai bentuk
penyimpangan perilaku, tentu saja perlu ditinjau dari paradigma perilaku
sosial. Remaja sebagai kelompok sosial kecil/subkultur, perkembangannya
memiliki hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi terhadap lingkungan
sosial yang ada.
Ketidakpedulian atau
ketidakberfungsian struktur (pemerintah dan masyarakat) selaku social control menyebabkan remaja merasa
bebas berbuat apa saja yang mereka senangi dengan anggapan sepanjang tidak
merugikan orang lain. Hal tersebut sangat dimungkinkan akibat industrialisasi,
menyebabkan masyarakat cenderung bersikap individualistik, tidak peduli dengan
situasi dan kondisi perkembangan lingkungan sosial, darinya menyebabkan
perubahan tingkahlaku pada periode berikutnya, sehingga tatanan kehidupan
masyarakat dapat dipengaruhi oleh perilaku seks bebas remaja. Dengan demikian,
seks yeng terjadi pada remaja merupakan masalah sosial yang perlu dicarikan
pemecahan masalah dan penanggulangannya, sehingga remaja tidak terseret jauh
terhadap pelanggaran-pelanggaran normatif tersebut. Menurut Phelp (Abdusyani,
2007:183) penyebab timbulnya masalah sosial antara lain karena faktor ekonomi,
yaitu kemiskinan dan pengangguran, disamping itu juga faktor biologis, faktor
psikologis, dan faktor kebudayaan.
Diasumsikan bahwa, seks bebas pada
dasarnya merupakan masalah sosial (patologis). Tiga alasan utama mengapa hal
tersebut dinyatakan sebagai masalah sosial, yaitu: (1) seks bebas merupakan
penyimpangan perilaku yang bersifat normatif (2) penanggulangan seks bebas
memerlukan perhatian, keseriusan, kepedulian, dan kerjasama dari berbagai pihak
(pemerintah dan masyarakat), dan (3) adanya keprihatinan masyarakat terhadap
perkembangan seks bebas pada remaja, sehingga perlu adanya upaya-upaya dan
langkah nyata dalam penanggulangannya.
Berbicara
tentang seks bebas, remaja di Kota Baubau mengenalnya dengan istilah “Komba-Komba”. Komba-Komba adalah sebuah terminologi yang digunakan masyarakat sebagai identitas yang
menunjuk pada perilaku seks bebas remaja yang dilakukan di balik rerumputan.
Dengan kata lain, Komba-Komba adalah
makna simbolik yang digunakan masyarakat untuk memaknai perilaku seks bebas
pada remaja. Terminologi ini cukup tepat digunakan karena Komba-Komba secara harafiah adalah tumbuhan (rumput dan belukar)
yang tumbuh dan berkembang di sepanjang bibir jalan dan kebun-kebun milik
masyarakat. Ketika berbicara tentang komba-komba, maka pikiran yang muncul
dibenak pembicara dan pendengar langsung mengarah pada perilaku seks bebas,
yaitu remaja yang memanfaatkan tempat-tempat sepi yang ditumbuhi belukar tinggi
untuk kemudian mencari kesenangan seks, baik secara aktif maupun pasif. Aktif
dikandung maksud melakukan hubungan badan (bersetubuh/bersenggama), sedangkan
pasif adalah melakukan seks oral (berpelukan, berciuman, meraba-raba, dan
sebagainya/tidak sampai melakukan hubungan badan), serta verbal yang diwujudkan
dalam kata-kata atau cerita yang syarat berbau sensualitas, yang pada akhirnya
mengarah pada relasi seksual.
Dalam satu dekade terakhir, indikasi berkembangnya
perilaku seks bebas remaja di Kota Baubau mengalami kenaikan cukup signifikan,
ditandai oleh banyaknya pasangan remaja yang memanfaatkan waktu siang dan malam
hari diberbagai tempat yang ditumbuhi Komba-Komba
untuk berdua-duaan dengan pasangan lawan jenisnya. Hal ini sangat memungkinkan
untuk dilakukan pasangan remaja karena diberbagai tempat tersebut sepi lalu
lalang warga masyarakat.
Berdasarkan penggalian informasi dari beberapa media cetak lokal,
fenomena dan kecenderungan seks bebas pada remaja di Kota Baubau pernah menjadi
sorotan utama media cetak lokal yang dimuat dalam “Koran Radar Buton” tanggal 7
November 2010, bertajuk “Masih Virginkah Anak Anda”. Artikel ini mengungkapkan
berbagai informasi yang dihimpun redaksi terkait hasil bincang-bincang dengan
kalangan pendidik di Kota Baubau, dan diketahui bahwa, perilaku seks bebas
remaja yang mencuat ke permukaan baik berupa adegan syur atau pelaku aborsi
sebagaimana kasus yang pernah menghebohkan warga kota (Kasus pasangan remaja
SMAN 1 Baubau), dan hal ini betapa mencerminkan kerusakan moral remaja dalam
kehidupan bermasyarakat.
Pemberitaan di atas diperkuat oleh “Baubau Post”, yang bertajuk
“Harus ada UU yang Mengatur Remaja”, tanggal 23 Januari 2011 mengungkapkan
bahwa, fenomena seks bebas remaja di Baubau sungguh sangat mengkhawatirkan, sehingga
dianggap perlu ada Undang-Undang atau regulasi khusus untuk mengatur tingkah
laku para remaja tersebut. Kedua contoh kasus tersebut mengindikasikan kepada
kita bahwa, diperlukan segenap upaya dari Pemerintah Kota dan komponen
masyarakat untuk meminimalisir perkembangan perilaku seks bebas remaja.
Salah satu alternatif pemecahan masalah untuk meminimalisir atau
meredusir perkembangan perilaku seks bebas remaja tersebut adalah dengan
mendudukkan peran dan fungsi masyarakat sebagai social control. Khusus di
wilayah Kota Baubau, maka hal itu dapat dioptimalkan dengan mengusung sistem
pranata “Bhinci-Bhinciki Kuli”,
mengingat wacana yang berkembang di tengah-tengah masyarakat saat ini adalah
kurangnya kepedulian sosial terhadap para pasangan remaja yang memanfaatkan
berbagai tempat sepi untuk melakukan kegiatan seks pra nikah.
BAHAN DAN
METODE
Pendekatan dan Lokasi Penelitian
Penelitian
ini menggunakan pendekatan kualitatif. Secara etimologis, kualitatif berasal
dari kata quality yaitu kualitas.
Dalam tradisi keilmuan, pendekatan kualitatif didorong atas pemahaman gejala
yang dapat digolongkan dalam dua bagian, yaitu gejala yang dapat di indera dan
tidak dapat di indera, atau dengan kata lain kenyataan yang tampak dan tidak
tampak. Kedua-duanya membutuhkan penafsiran mendalam, namun kenyataan yang
tidak tampak sesungguhnya lebih mengandung kebenaran karena menggunakan
interpretasi mendalam (verstehen),
yaitu memahami objek yang menjadi gejala atau fenomena.
Berangkat
dari penjelasan di atas, maka penelitian ini dimaksudkan untuk memahami,
mengerti, dan menggali serta menafsirkan perilaku seks bebas pada remaja di
kota Baubau sebagai objek studi kasus yang ditekankan dalam penelitian
kualitatif. Oleh karena itu, fenomenologi perilaku seks bebas sebagai kenyataan
yang terjadi pada dasarnya bukan menentukan penafsiran peneliti, tetapi
penafsiran peneliti yang menentukan kenyataan kecenderungan perilaku seks bebas
remaja sebagai suatu fenomena. Penelitian dilaksanakan di Kota Baubau Provinsi
Sulawesi Tenggara dengan empat alasan utama, yaitu: (1) Kurang berfungsinya
pranata struktur sosial (pemerintah dan elemen masyarakat) terhadap
kecenderungan remaja untuk memanfaatkan tempat-tempat tertentu (komba-komba) untuk melakukan hubungan
seks (2) Keberadaan eksodus Ambon akibat konflik SARA tahun 1999 dan 2000
mempengaruhi pola interaksi sosial remaja dengan lingkungannya (3) Perkembangan
jaringan TV kabel lokal yang menyediakan puluhan hingga ratusan program/channel, seperti: Indovission, ZTv
India, Movie Star, TV5, yang seringkali menyuguhkan tayangan-tayangan syarat
sensualitas (4) Kesiapan kota Baubau sebagai tuan rumah penyelenggaraan
Festival Keraton Nusantara ke VIII (FKN) tahun 2012 menuntut percepatan
pembangunan sarana dan prasarana publik (5) Dibentuknya kembali lembaga adat Sara Ogena sebagai cerminan kejayaan
Kesultanan Buton dalam berbagai aspek kehidupan agama, pemerintahan dan adat
istiadat.
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada abad-abad terdahulu, masyarakat
tidak menandai masa remaja (adolescence)
sebagai suatu masa yang khas dalam kehidupan. Orang menjalani perubahan dari
masa anak-anak ke pemuda dewasa tanpa persinggahan di antaranya. Berdasarkan
latar belakang terjadinya revolusi industri, banyak remaja tidak dikategorikan
sebagai angkatan kerja, sehingga remaja lebih ditekankan pada aspek pendidikan
saja untuk mencapai suatu kesuksesan hidup.
Masa remaja merupakan masa dimana
anak berusia 13-21 tahun. Dalam usia inilah menurut Hall (Henslin, 2006:84)
menyatakan bahwa, masa remaja adalah masa yang terkenal karena gejolak
batinnya. Lebih lanjut, Henslin menyatakan bahwa, remaja berupaya menciptakan
suatu identiitas yang berbeda, mengembangkan subkultur mereka sendiri, baik
dengan busana, gaya rambut, bahasa, gerak isyarat, dan musik yang khas. Lebih
lanjut, Henslin menegaskan bahwa gejolak batin yang terjadi pada remaja
dipengaruhi atau dibentuk oleh perkembangan yang ada di tengah-tengah
masyarakat, seperti dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat global. Namun
demikian, perlu dipahami juga bahwa, masa remaja adalah masa yang sangat baik
untuk mengembangkan segala potensi yang mereka miliki, seperti bakat, kemampuan
dan minat. Selain itu, masa remaja adalah masa pencarian nilai-nilai hidup.
Oleh karena itu, bimbingan keluarga terutama nilai-nilai ajaran agama dan
kearifan budaya lokal harus ditanamkan sehingga menjadi pedoman hidup remaja.
Pada suatu masyarakat tertentu,
untuk menanamkan identitas diri dan menandai masa peralihan dari anak-anak ke
masa dewasa, masyarakat yang masih kental terhadap nilai dan norma kebudayaan
menyelenggarakan ritus inisiasi (initiation
rites). Sedangkan remaja di dunia industrialisasi harus menemukan “diri”
mereka sendiri, atau oleh penulis disebut sebagai “proses pencarian jadi diri”,
termasuk dalam aspek seks bebas
sebagaimana telah dikemukakan pada bagian awal tulisan ini.
Keterkaitan antara uraian di atas
dengan kondisi rill yang ada di
masyarakat Kota Baubau, dikenal pula proses transformasi (peralihan) dari
anak-anak menjadi remaja yang diwujudkan dalam gerak kebudayaan (tradisi) “Posuo” atau dalam bahasa Indonesia
dapat diartikan sebagai tradisi “Pingitan”.
Sesudah dilakukannya “Posuo”, maka
anak tersebut dalam masyarakat telah diakui sebagai remaja dan bukan anak-anak
lagi.
Remaja sebagai subkultur dalam
masyarakat tidak terlepas dari suatu perilaku (Atribusi) yang dibentuk dari
berbagai faktor, baik dari dalam diri remaja seperti sikap, ataupun sifat-sifat
tertentu, maupun dari luar diri remaja (ekstern), yaitu situasi. Perilaku yang
dalam pandangan sosiologis disebut sebagai atribusi, oleh Fritz Heider
(Walgito, 2003:59) menyebutkan bahwa, perilaku dapat disebabkan oleh faktor
internal (atribusi internal) dan faktor eksternal (atribusi eksternal).
Menurut Walgito (2003:59), dalam
perspektif teori atribusi menekankan pengetahuan tentang orang-orang yang ada
di sekitar kita melalui beberapa cara, yaitu (1) dengan melihat apa yang
ditampakkan oleh yang bersangkutan secara fisik, misalnya cara berpakaian, atau
cara penampilan diri (2) langsung menanyakan kepada yang bersangkutan, misalnya
tentang pemikirannya, motifnya, dan (3) dari perilaku orang yang bersangkutan,
over action, sekaligus menjadi sumber terpenting dari yang bersangkutan.
Perilaku
seks bebas disebut pula sebagai masalah sosial, karena ketidaksesuaiannya
dengan unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan
kelompok sosial. Jika terjadi bentrokan antara unsur-unsur yang ada dapat
menimbulkan gangguan hubungan sosial. Masalah sosial muncul akibat terjadinya
perbedaan yang mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan realita yang ada.
Adapun sumber masalah sosial, terutama menyangkut praktek seks bebas menurut
interpretasi penulis antara lain: (1) faktor ekonomi (2) faktor budaya (3)
faktor biologis, dan (4) faktor psikologis.
Perkembangan seks bebas pada remaja
paling tidak dipengaruhi oleh tiga proses, yaitu: a) sekulerisasi, b)
globalisasi dan modernisasi, serta c) westernisasi (Sahaka, 2007:21). Dapat
diinterprtasikan bahwa, proses sekulerisasi yang menempatkan agama sebagai
pemasung nilai-nilai intelektual dan kebebasan manusia menyebabkan terjadinya
pertentangan antara pemenuhan kepentingan duniawi manusia dan nilai-nilai
ajaran agama yang seharusnya menjadi acuan normatif dalam berkehidupan. Proses
globalisasi dan westernisasi. Perkembangan yang terjadi di berbagai aspek dan
sektor kehidupan manusia membawa suatu perubahan kehidupan. Manusia melakukan
kegiatan ekonomi hingga tingkat global, melahirkan kegiatan pariwisata yang
menyebabkan orang melakukan perjalanan ke berbagai belahan dunia. Dalam
perkembangannya, mereka yang melakukan perjalanan pariwisata tanpa disadari
membawa kebiasaan atau kebudayaannya ke negara atau daerah tujuan wisata. Pada
akhirnya, masyarakat yang ada di daerah tujuan wisata tersebut menganggap apa
yang dibawa wisatawan merupakan hal-hal positif, hingga membanggakannya. Cara
hidup dan kebudayaan Barat ditiru mentah-mentah dengan mengenyampingkan
kebudayaan lokal. Dengan kata lain, masyarakat menerimanya tanpa menggunakan
kebudayaan lokal sebagai filternya, dampaknya melahirkan gaya hidup
kebarat-baratan. Kedudukan remaja dalam hal ini sebagai pihak yang paling
rentan terhadap perubahan akibat adanya kegiatan perjalanan dan kegiatan
pariwisata, menjadi sangat penting untuk dberikan pemahaman akan nilai-nilai
budaya dan kearifan lokal, sehingga tidak tercemari oleh gaya hidup
kebarat-baratan tersebut.
Agar
hubungan antar manusia sebagai anggota masyarakat dapat berjalan sebagaimana
yang diinginkan, diperlukan suatu sistem nilai atau norma. Nilai dan norma yang
ada selanjutnya menjadi kekuatan yang sifatnya mengikat anggotanya, sehingga
harus dipatuhi dan ditaati bersama, sedangkan mereka yang melanggar akan
mendapat konsekuensi sosial tertentu sesuai dengan kesepakatan yang telah
diatur dalam sistem nilai dan norma tersebut.
Masyarakat
kota Baubau sebagai eks. Kesultanan Buton syarat dengan nilai-nilai islami
dalam kebudayaannya. Kebudayaan sebagai keluhuran hasil karya leluhur dibangun
bersendikan ajaran agama melalui pemahaman sufistik mendalam, sehingga dalam
berbagai aspek terdapat banyak wujud gerak kebudayaan yang mengatur kehidupan
sosial ekonomi, politik dan pemerintahan, maupun hak-hak beragama dan
berbudaya. Dalam terjemahan sederhana, empat asas bernegara yaitu (1) inda-indamo arata somanamo karo, yang
bermakna kepentingan diri di atas kepentingan harta (2) inda-indamo karo somanamo lipu, bermakna kepentingan negeri di atas
kepentingan diri/pribadi (3) inda-indamo
lipu somanamo sara, yaitu kepentingan pemerintah/hukum di atas kepentingan
negeri, serta (4) inda-indamo sara
somanamo agama, adalah kepentingan agama di atas segala. Walaupun keempat
asas ini pada awalnya digunakan sebagai mesin politik perang secara historis,
tetapi dapatlah digunakan dan diterjemahkan untuk berbagai kepentingan, dalam
hal ini peneliti mencoba mengungkap maknanya dari sudut pandang berbeda
(sosiologis) terkait dengan ketidakberfungsian struktur sosial di kota Baubau,
serta hubungannya dengan kedudukan individu remaja, elemen masyarakat dan
pemerintah terkait dengan perkembangan perilaku seks bebas. Oleh karena itu,
keempat asas di atas diinterpretasikan sebagai berikut:
Inda-indamo
arata somanato karo, kepentingan
diri di atas kepentingan harta. Seperti yang kita pahami bersama, harta
mengandung unsur duniawi sehingga untuk mendapatkannya berbagai cara ditempuh.
Tujuannya untuk mendapatkan kemudahan dan kesenangan dalam hidup. Harta juga
bermakna kesenangan. Pemanfaatan kendaraan bermotor untuk menjangkau berbagai
tempat guna berbuat seks bebas oleh remaja adalah salah satu dimensi kesenangan
harta. Bahkan tidak jarang, pelacuran juga diakibatkan oleh suatu sikap untuk
memperoleh sesuatu yang berlebih. Dalam perspektif ini, maka remaja seyogyanya
memahami eksistensi dirinya, yaitu belajar dan berprestasi adalah tujuan utama
yang harus dicapai, baik dibidang seni maupun olah raga. Dengan berprestasi,
remaja mampu menghindarkan diri dari perilaku seks bebas karena disibukkan
berbagai kegiatan yang produktif, berwawasan dan menjadi remaja yang enerjik.
Namun untuk mencapai tujuan tersebut, keterlibatan orang tua, institusi
pendidikan dan elemen masyarakat merupakan hal yang dibutuhkan.
Inda-indamo
karo somanamo lipu, kepentingan
negeri di atas kepentingan diri. Dalam perspektif ini, kepedulian pemerintah
dan elemen masyarakat menjadi kunci utamanya. Pranata sosial harus dapat
dilaksanakan secara tegas berdasarkan visi ke depan. Pembangunan fisik kota
menjadi tidak berarti jika remaja sebagai generasi pelanjut mempunyai mental
yang rusak, mengalami kemerosotan moral akibat perilaku seks bebas. Pada
akhirnya, kontrol ketat terhadap keberfungsian berbagai sarana dan prasarana
publik maupun wilayah yang terindikasi sering digunakan pasangan remaja harus
dapat dilakukan sebagai langkah nyata dan antisipasi kecenderungan perilaku
seks bebas remaja.
Inda-indamo lipu somanamo sara, kepentingan
pemerintahan/hukum di atas kepentingan negeri. Artinya, pemerintah dan elemen
masyarakat mutlak harus menjalankan peran dan fungsinya sebagai kontrol sosial
dalam menciptakan keharmonisan kehidupan sesuai dengan dasar-dasar budaya
lokal, karena kebudayaan lokal melambangkan sikap dan perilaku luhur yang dibangun
di atas fondasi islami.
Inda-indamo
sara somanamo agama, kepentingan agama di atas segalanya. Terlihat
jelas bahwa, pranata sosial dalam sistem kebudayaan lokal bertujuan untuk
menegakkan sendi-sendi kehidupan beragama. Perilaku seksual remaja jauh dari
nilai-nilai agung islami, dapat menyebabkan kerusakan mental atau moral remaja
dan lingkungan masyarakat sekitar. Dalam kacamata agama, perilaku seks bebas
merupakan kesenangan sesaat dan mempunyai konsekuensi berat di akhirat. Tetapi
yang lebih penting adalah, ajaran agama melarang perilaku seks bebas karena
untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan hidup yang telah
dikodratkan oleh Allah Swt.
Keseluruhan
uraian di atas menurut pemahaman penulis juga sebagai akibat tidak efektifnya
interaksi sosial yang ada, yaitu pemerintah dan elemen masyarakat. Jika
interaksi sosial berjalan efektif, tentu saja perilaku seks bebas pada remaja
sebagaimana telah dikemukakan sebelum ini dapat di tanggulangi. Menurut Walgito
(2003:65), interaksi sosial merupakan hubungan antara individu satu dengan
individu lainnya, menciptakan hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi.
Disamping itu, manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan orang lain untuk
saling berinteraksi. Interaksi sosial yang terbangun inilah pada dasarnya mampu
membendung berkembangnya seks bebas.
Lebih lanjut,
secara konseptual maupun aplikatif, interaksi sosial masyarakat kota Baubau
sebagai pusat eks. Kesultanan Buton telah mengalami pergeseran nilai-nilai
hidup, atau dengan kata lain telah terjadi perubahan sosial yang ekstrim mengingat dalam sistem
kebudayaan setempat kehidupan sosial diatur dalam sebuah pranata, yaitu
falsafah “Sara Patanguna” (sara = hukum, patanguna = yang empat) atau empat dasar hukum dalam berkehidupan,
yaitu: (1) poangka-angkataka, artinya
saling menghargai (2) pomaa-maasiaka,
artinya saling asa, asih, asuh (mengasihi) (3) popia-piara, artinya saling memelihara, serta (4) pomae-maeka, artinya saling segan satu
sama lain. Keempat dasar hukum ini selanjutnya terintegrasi dalam istilah “Pobinci-binciki Kuli” artinya, saling
mencubit diri sendiri (jika sakit kepada diri, begitu pula halnya kepada orang
lain) sebagai Undang-Undang Pemerintahan Kesultanan Buton masa lampau, namun
sangat disayangkan bahwa hal tersebut dalam dinamika kehidupan sosial
masyarakat saat ini tinggal menjadi suatu sikap yang apriori, yaitu pengagungan
nilai dan norma kebudayaan. Oleh karena itu, oleh peneliti menyebutnya sebagai
“So Kaogena Yinca”, yaitu sebatas
membesarkan jiwa atas keluhuran adat dan tradisi.
Pranata
berkehidupan sosial masyarakat dalam falsafah di atas, seharusnya mewujudkan
sikap tegas struktur sosial (Pemerintah dan elemen masyarakat) dalam mengawal
perkembangan adaptasi psikis remaja terhadap lingkungan di Kota Baubau yang
telah terjamah nilai-nilai modernitas melalui berbagai bentuk pembangunan dan
pengembangan kota sebagai tanda bergeraknya masyarakat kearah suatu perubahan,
baik perubahan yang bersifat cepat maupun lambat, namun dalam perspektif
sosiologis hal ini disebut sebagai cultural
lag, yaitu ketidaksiapan kulltur masyarakat terhadap terjadinya perubahan
dalam berbagai bentuk yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Pembangunan
kota dari aspek fisik menciptakan suatu pergerakan ekonomi, menuntut
terciptanya penyediaan jasa dan layanan untuk memfasilitasi keterwujudannya.
Dalam situasi ini, elemen masyarakat sibuk dengan rutinitas ekonominya sehingga
mengenyampingkan tumbuh kembang remaja terhadap lingkungan, mengabaikan aspek
pembangunan ruhani yang menyebabkan ruang bebas bagi para remaja untuk
mengekplorasi diri dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hal ini
perilaku seks bebas.
Keempat dasar
hukum atau pranata yang bersifat normatif, falsafah “Bhinci-binciki kuli” dalam tataran ideal mampu mewujudkan
keteraturan sosial “Equilibrium”
dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, keempat dasar
hukum di atas dapat diinterpretasikan peneliti sebagai berikut:
Poangka-angkataka: Saling menghargai. Dalam tataran
konsep ini, pemerintah dan elemen masyarakat harus mengetahui peran dan
fungsinya. Berbagai kebijakan yang telah dirumuskan atau dikeluarkan pemerintah
kota harus ada unsur elemen masyarakat di dalamnya, karena tentu saja
masyarakat adalah objek komunal sasaran kebijakan. Pemerintah kota harus
membangun partisipasi aktif elemen masyarakat dalam mengawal berbagai aspek
kehidupan sosial yang sedang atau akan berkembang. Elemen masyarakat juga
diharapkan ikut ambil bagian dalam berpartisipasi mengawal dan menyukseskan
kebijakan dan program pemerintah terhadap upaya penanggulangan perkembangan dan
kecenderungan perilaku seks bebas remaja sebagai suatu masalah yang sifatnya
patologis tersebut.
Pomaa-maasiaka: Saling mengasihi. Dalam konsep ini
terkandung makna bahwa, elemen masyarakat termasuk di dalamnya institusi sosial
menjalankan peran dan fungsinya untuk memberikan contoh-contoh teladan kepada
generasi muda, menasehati bagaimana cara bergaul, menegur para pasangan remaja
yang berdua-duaan pada tempat yang sepi dan gelap, yang memungkinkan mereka
bisa mengarah pada perbuatan yang melanggar sesuatu yang sifatnya normatif,
baik nilai dan norma agama maupun kultur masyarakat. Pembekalan moral harus
diberikan kepada remaja melalui berbagai kegiatan kurikuler maupun
ekstrakurikuler. Pembentukan kelompok-kelompok pencinta alam, karya musik dan
seni, serta kelompok-kelompok olah raga bisa menjadi dasar menubumbuhkan sikap
positif remaja terhadap kehidupan.
Popia-piara: Saling memelihara. Pemerintah
melakukan pengawasan dan kotrol yang ketat terhadap pemanfaatan dan
keberfungsian sarana dan prasarana publik maupun wilayah disekitarnya,
sedangkan masyarakat memberikan anjuran dan teguran kepada pasangan remaja yang
masih berduaan khususnya pada jam-jam tertentu di atas batas waktu toleransi
keberadaan mereka di sekitar lokasi tersebut. Dengan demikian, akan tercipta
suatu keteraturan sosial (equilibrium)
sebagaimana yang diinginkan agama dan kultur masyarakat.
Pomae-maeaka: Saling segan tugas dan tanggung jawab
masing-masing sebagai anggota masyarakat. Dalam perspektif ini, keberadaan
tokoh-tokoh masyarakat sangat berperan penting sebagai contoh teladan dan acuan
para remaja dalam bersikap terhadap lingkungan dan perkembangan yang ada. Tokoh
masyarakat harus mampu memberikan sesuatu yang sifatnya dapat menjadi sumber
ide dan pencerahan bagi para remaja maupun anggota masyarakat lainnya. Ide-ide
kreatif remaja harus diberikan ruang seluas-luasnya sehingga kegiatan-kegiatan
yang bersifat positif dapat mengakar pada remaja itu sendiri.
Pranata sosial
yang menjadi acuan normatif di atas pada kenyataannya sudah tidak dapat
diimplementasikan struktur sosial di kota Baubau. Artinya, telah terjadi
pergeseran nilai agama dan kebudayaan yang mungkin dipengaruhi oleh modernisasi
dari proses pembangunan kota yang terus digalakkan, menyebabkan ruang bebas
kepada remaja untuk berperilaku seks bebas karena proses netralisasi, anggapan
bahwa semua hal yang dilakukan tidak merugikan orang lain atau masyarakat.
Pemerintah
yang sadar akan peran dan fungsinya dalam melaksanakan pembangunan fisik harus
disertai oleh kontrol keberfungsiannya, sedangkan elemen masyarakat mengawal
keterlaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah serta melakukan
pembekalan ruhani kepada remaja sebagai generasi dan tonggak utama pembangunan.
Berdasarkan keempat dasar hukum sebagaimana telah diuraikan sebelumnya sebagai
acuan normatif dalam berkehidupan, pada akhirnya falsafah “pobinci-binciki kuli” yang dimaknai sebagai rasa sakit saat
mencubit diri sendiri begitu juga sebaliknya, maka permasalahan yang dihadapi
sebahagian remaja sebagai subkultur dalam masyarakat dapat diminimalisir
perkembangannya, karena telah terjadi sinergitas antara pemerintah dan elemen
masyarakat sebagai sebuah struktur yang kokoh dalam melaksanakan dan menegakkan
sendi-sendi kehidupan beragama dan berbudaya sesuai dengan nilai-nilai dan
norma kearifan lokal.
Dalam
proses perubahan sosial, modifikasi yang terjadi seringkali tidak teratur dan
tidak menyeluruh, meskipun sendi-sendi yang berubah itu saling berkaitan secara
erat, sehingga melahirkan ketimpangan. Cepatnya perubahan teknologi dan
pembangunan aspek fisik kota jelas akan membawa dampak luas ke seluruh
institusi sosial sehingga munculnya kejahatan seksual dan kriminalitas remaja
yang tidak bisa dicegah.
Untuk
itulah pendidikan harus mampu melakukan analisis kebutuhan nilai, pengetahuan
dan teknologi yang paling mendesak dapat mengantisipasi kesiapan masyarakat
dalam menghadapi perubahan. Pembahasan dan analisis mengenai perubahan sosial
akibat perilaku seks bebas remaja dan pendidikan seks tidak terlepas dari
konsep modernisasi. Sebagai sebuah proses masyarakat dunia, modernisasi
merupakan gejala universal yang dapat dijadikan sebagai kerangka acuan guna
memahami konteks sosial dan pendidikan. Dari sinilah dapat ditarik interpretasi
mengenai perspektif perubahan sosial dan arah pendidikan.
Melalui
pewarisan kebudayaan dan internalisasi pada setiap individu, pendidikan hadir
dalam bentuk sosialisasi kebudayaan, berinteraksi dengan nilai-nilai masyarakat
setempat dan memelihara hubungan timbal balik yang menentukan proses-proses
perubahan tatanan sosio kultur masyarakat dalam rangka mengembangkan kemajuan
peradabannya. Sebaliknya, dimensi-dimensi sosial yang senantiasa mengalami
dinamika perkembangan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
merupakan faktor dominan yang telah membentuk eksistensi pendidikan manusia.
Penggunaan alat dan sarana kebutuhan hidup yang modern selanjutnya memungkinkan
pola pikir dan sikap manusia untuk memproduk nilai-nilai baru sesuai dengan
intensitas pengaruh teknologi terhadap tatanan kehidupan sosial budaya.
Menurut sosiolog Andi Agustang
yang dikutip pernyataannya dalam Facebook (26 April 2011) menegaskan bahwa,
pendidikan seks ialah salah satu upaya katub pengaman agar tidak beresiko dalam
ranah pergaulan bebas. Namun, perlu di pahami bahwa, pergaulan bebas dan seks
bebas merupakan salah satu ciri globalisasi dan hedonisme kebudayaan Barat.
Kebudayaan orang-orang yang steril dari basis keberimanan (teologis) atau
keluar dari doktrin keadaban agung. Mereka yang terlibat gaya hidup demikian
sebatas mengikuti irama kiblat menyenangkan dan memuaskan, dan bukan kultur
mendamaikan dan menyelamatkan peradaban, yang selalu atau sering diburu adalah
kepuasan biologis, meski akibat oportunisme pemuasan ini menuntut pertaruhan
nyawa banyak pihak. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana basis keberimanan
(teologis) menjadi landasan kesadaran kita dalam berdinamika, atau adab karsa.
Sejumlah alasan perlunya pendidikan seks diberikan kepada remaja, baik
dalam bentuk kurikuler maupun ekstra kurikuler sebagai berikut: (1) Mencegah terjadinya penyimpangan perilaku dan kelainan seksual pada diri
remaja (2) Memelihara kekokohan nilai-nilai pranata sosial yang berlaku di dalam
satu masyarakat tertentu (3) Memberikan wawasan dan pengetahuan terhadap fungsi
alat reproduksi dan hubungannya dengan produktivitas akademik remaja, seperti
prestasi dalam berbagai bidang seni dan olah raga (4) Pembekalan psikis remaja
terhadap proses kematangan biologis dan aspek-aspek perkembangannya (5) Menghindarkan
remaja dari kesalahan persepsi terhadap seks, faktor penyebab dan dampak yang
ditimbulkan, seperti kehamilan di luar ikatan pernikahan, gangguan dan tekanan
psikologis, maupun berkembangnya penyakit menular.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, kesimpulan yang dapat
ditarik adalah, bahwa kecenderungan perilaku seks bebas terhadap remaja di Kota
Baubau karena hubungan pacaran yang tidak sehat, berorientasi pada pemenuhan
hasrat seksual dari pasangan masing-masing, tempat yang sepi, gelap dan tidak
terjangkau oleh anggota masyarakat, serta kurang intensifnya waktu
pengawasan/kontroling yang dilakukan oleh pemerintah dan elemen masyarakat,
diperburuk oleh
ketidakmampuan struktur dan kultur sosial. Pemerintah dan elemen masyarakat
tidak mampu menjalankan peran dan fungsinya sebagai kontrol sosial, walaupun
kultur masyarakat kontra terhadap perkembangan seks bebas remaja, serta rendahnya wawasan dan pengetahuan remaja terhadap
pendidikan seks menyebabkan perilaku seks bebas merusak sendi-sendi kehidupan
beragama dan berbudaya dalam kehidupan sosial di kota Baubau.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulsyani. 2007. Sosiologi. Sistematika, Teori, dan Terapan.
Jakarta: Bumi Aksara; Andi Agustang, (Online), (http://facebook/status.com,
Diakses tanggal 26 April 2011); Beilharz, Peter. 2005. Teori-Teori Sosial (Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar; Henslin, H. James. 2006. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi. Jilid I & II. Edisi 6.
Jakarta: Erlangga; Kartono, Kartini. 2007.
Patologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada; Kartono, Kartini. 2005.
2005. Patologi Sosial 2 (Kenakalan
Remaja). Jakarta: Raja Grafindo
Persada; Kuper dan Kuper. 2009. Ensiklopedi
Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Rajawali Pers; Ritzer, Geoge. 2010. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma
Ganda. Jakarata: Raja Grafindo Persada; Sahaka. 2007. Seks Bebas, (Online), (http:www.sahaka/emporium/-seksbebas
.go.id/html, Diakses 18 April 2010); Soyomukti, Nurani. 2010. Membongkar Aib Seks Bebas dan Seks
bebas Kaum Selebritis (Pilihan Jalan:
Meluna atau Merieke). Bandung: Nuansa; Soekanto, Soerjono. 2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja
Grafindo Persada; Soekanto, Soerjono. 1978. Sosiologi
Suatu Pengantar. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia; Sulistiyo,
Herman. 2005. Mempersiapkan Masa Puber.
Jakarta: Restu Agung; Walgito, Bimo. 2005. Psikologi
Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Andi; Wijayanto, Iip. 2003. Universitas
Kost-kostan dan Pondokan (Panduan dan Tips memilih kost yang sehat). Yogyakarta:
Tinta; Willis, Sofyan. 2010. Remaja dan
Masalahnya (Mengupas Berbagai Bentuk Kenakalan Remaja, Narkoba, Free Sex, dan
Pemecahannya). Bandung: Alfabeta; Wulansari, Dewi. 2009. Sosiologi Konsep dan Teori. Bandung:
Refika Aditama.