Jurnal Ilmu Pengetahuan Umum
Home » » Komba-Komba: Perilaku Seks Bebas Remaja

Komba-Komba: Perilaku Seks Bebas Remaja

Written By Unknown on Senin, 27 Mei 2013 | 12.04

Seks dalam pengertian sesungguhnya sangat berbeda jauh dengan yang dipahami remaja. Secara teoritis, Sigmun Freud (Kartono, 2007:221), menyatakan bahwa seks merupakan “libido sexualis”, yaitu energi psikis yang ikut mendorong manusia untuk aktif bertingkah laku. Tidak hanya berbuat di bidang seks saja, yaitu melakukan relasi seksual atau bersenggama/berhubungan badan, akan tetapi juga melakukan kegiatan-kegiatan nonseksual seperti berprestasi di berbagai bidang ilmu pengetahuan. Tetapi akibat kesalahpahaman terhadap seks berikut dimensi-dimensinya, seks secara negatif berkembangan pada remaja, para remaja tidak segan atau takut memanfaatkan ruang dan waktu untuk menjalin relasi seksual dengan pasangannya masing-masing (Sebahagian dari tulisan ini/kecuali kutipan tambahan telah dimuat dalam Jurnal Hipotesis. Volume 4. Nomor 3. Juli – September 2012. LPPM Universitas Sawerigading Makassar – La Ode Muhammad Deden Marrah Adil, S.Pd., M.Pd)

Dalam peta keilmuan, seks bebas dapat digolongkan dalam paradigma fakta sosial karena menyangkut nilai dan norma, sebagaimana dikemukakan Durkheim (Ritzer, 2010:14). Maka sebagai fakta sosial, seks yang dilakukan remaja dilakukan atas dasar keinginan untuk memperoleh kesenangan/kenikmatan, dan bukan untuk dipertukarkan dengan sesuatu yang lain, misalnya melayani untuk menyenangkan orang lain sehingga memperoleh upah dari hal tersebut. Dalam perspektif ini, seks bebas merupakan salah satu bentuk pelanggaran nilai dan norma kebudayaan masyarakat. Nilai berarti kualitas sistem sosial masyarakat, sedangkan norma adalah tata tertib atau aturan-aturan standar yang menjadi pegangan masyarakat dalam bertingkahlaku agar terwujud keteraturan sosial (normatif). Namun demikian, seks bebas sebagai bentuk penyimpangan perilaku, tentu saja perlu ditinjau dari paradigma perilaku sosial. Remaja sebagai kelompok sosial kecil/subkultur, perkembangannya memiliki hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi terhadap lingkungan sosial yang ada.

Ketidakpedulian atau ketidakberfungsian struktur (pemerintah dan masyarakat) selaku social control menyebabkan remaja merasa bebas berbuat apa saja yang mereka senangi dengan anggapan sepanjang tidak merugikan orang lain. Hal tersebut sangat dimungkinkan akibat industrialisasi, menyebabkan masyarakat cenderung bersikap individualistik, tidak peduli dengan situasi dan kondisi perkembangan lingkungan sosial, darinya menyebabkan perubahan tingkahlaku pada periode berikutnya, sehingga tatanan kehidupan masyarakat dapat dipengaruhi oleh perilaku seks bebas remaja. Dengan demikian, seks yeng terjadi pada remaja merupakan masalah sosial yang perlu dicarikan pemecahan masalah dan penanggulangannya, sehingga remaja tidak terseret jauh terhadap pelanggaran-pelanggaran normatif tersebut. Menurut Phelp (Abdusyani, 2007:183) penyebab timbulnya masalah sosial antara lain karena faktor ekonomi, yaitu kemiskinan dan pengangguran, disamping itu juga faktor biologis, faktor psikologis, dan faktor kebudayaan.

Diasumsikan bahwa, seks bebas pada dasarnya merupakan masalah sosial (patologis). Tiga alasan utama mengapa hal tersebut dinyatakan sebagai masalah sosial, yaitu: (1) seks bebas merupakan penyimpangan perilaku yang bersifat normatif (2) penanggulangan seks bebas memerlukan perhatian, keseriusan, kepedulian, dan kerjasama dari berbagai pihak (pemerintah dan masyarakat), dan (3) adanya keprihatinan masyarakat terhadap perkembangan seks bebas pada remaja, sehingga perlu adanya upaya-upaya dan langkah nyata dalam penanggulangannya. 

Berbicara tentang seks bebas, remaja di Kota Baubau mengenalnya dengan istilah “Komba-Komba”. Komba-Komba adalah sebuah terminologi yang digunakan masyarakat sebagai identitas yang menunjuk pada perilaku seks bebas remaja yang dilakukan di balik rerumputan. Dengan kata lain, Komba-Komba adalah makna simbolik yang digunakan masyarakat untuk memaknai perilaku seks bebas pada remaja. Terminologi ini cukup tepat digunakan karena Komba-Komba secara harafiah adalah tumbuhan (rumput dan belukar) yang tumbuh dan berkembang di sepanjang bibir jalan dan kebun-kebun milik masyarakat. Ketika berbicara tentang komba-komba, maka pikiran yang muncul dibenak pembicara dan pendengar langsung mengarah pada perilaku seks bebas, yaitu remaja yang memanfaatkan tempat-tempat sepi yang ditumbuhi belukar tinggi untuk kemudian mencari kesenangan seks, baik secara aktif maupun pasif. Aktif dikandung maksud melakukan hubungan badan (bersetubuh/bersenggama), sedangkan pasif adalah melakukan seks oral (berpelukan, berciuman, meraba-raba, dan sebagainya/tidak sampai melakukan hubungan badan), serta verbal yang diwujudkan dalam kata-kata atau cerita yang syarat berbau sensualitas, yang pada akhirnya mengarah pada relasi seksual.

Dalam satu dekade terakhir, indikasi berkembangnya perilaku seks bebas remaja di Kota Baubau mengalami kenaikan cukup signifikan, ditandai oleh banyaknya pasangan remaja yang memanfaatkan waktu siang dan malam hari diberbagai tempat yang ditumbuhi Komba-Komba untuk berdua-duaan dengan pasangan lawan jenisnya. Hal ini sangat memungkinkan untuk dilakukan pasangan remaja karena diberbagai tempat tersebut sepi lalu lalang warga masyarakat.

Berdasarkan penggalian informasi dari beberapa media cetak lokal, fenomena dan kecenderungan seks bebas pada remaja di Kota Baubau pernah menjadi sorotan utama media cetak lokal yang dimuat dalam “Koran Radar Buton” tanggal 7 November 2010, bertajuk “Masih Virginkah Anak Anda”. Artikel ini mengungkapkan berbagai informasi yang dihimpun redaksi terkait hasil bincang-bincang dengan kalangan pendidik di Kota Baubau, dan diketahui bahwa, perilaku seks bebas remaja yang mencuat ke permukaan baik berupa adegan syur atau pelaku aborsi sebagaimana kasus yang pernah menghebohkan warga kota (Kasus pasangan remaja SMAN 1 Baubau), dan hal ini betapa mencerminkan kerusakan moral remaja dalam kehidupan bermasyarakat.

Pemberitaan di atas diperkuat oleh “Baubau Post”, yang bertajuk “Harus ada UU yang Mengatur Remaja”, tanggal 23 Januari 2011 mengungkapkan bahwa, fenomena seks bebas remaja di Baubau sungguh sangat mengkhawatirkan, sehingga dianggap perlu ada Undang-Undang atau regulasi khusus untuk mengatur tingkah laku para remaja tersebut. Kedua contoh kasus tersebut mengindikasikan kepada kita bahwa, diperlukan segenap upaya dari Pemerintah Kota dan komponen masyarakat untuk meminimalisir perkembangan perilaku seks bebas remaja.

Salah satu alternatif pemecahan masalah untuk meminimalisir atau meredusir perkembangan perilaku seks bebas remaja tersebut adalah dengan mendudukkan peran dan fungsi masyarakat sebagai social control. Khusus di wilayah Kota Baubau, maka hal itu dapat dioptimalkan dengan mengusung sistem pranata “Bhinci-Bhinciki Kuli”, mengingat wacana yang berkembang di tengah-tengah masyarakat saat ini adalah kurangnya kepedulian sosial terhadap para pasangan remaja yang memanfaatkan berbagai tempat sepi untuk melakukan kegiatan seks pra nikah.

BAHAN DAN METODE
Pendekatan dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Secara etimologis, kualitatif berasal dari kata quality yaitu kualitas. Dalam tradisi keilmuan, pendekatan kualitatif didorong atas pemahaman gejala yang dapat digolongkan dalam dua bagian, yaitu gejala yang dapat di indera dan tidak dapat di indera, atau dengan kata lain kenyataan yang tampak dan tidak tampak. Kedua-duanya membutuhkan penafsiran mendalam, namun kenyataan yang tidak tampak sesungguhnya lebih mengandung kebenaran karena menggunakan interpretasi mendalam (verstehen), yaitu memahami objek yang menjadi gejala atau fenomena.

Berangkat dari penjelasan di atas, maka penelitian ini dimaksudkan untuk memahami, mengerti, dan menggali serta menafsirkan perilaku seks bebas pada remaja di kota Baubau sebagai objek studi kasus yang ditekankan dalam penelitian kualitatif. Oleh karena itu, fenomenologi perilaku seks bebas sebagai kenyataan yang terjadi pada dasarnya bukan menentukan penafsiran peneliti, tetapi penafsiran peneliti yang menentukan kenyataan kecenderungan perilaku seks bebas remaja sebagai suatu fenomena. Penelitian dilaksanakan di Kota Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara dengan empat alasan utama, yaitu: (1) Kurang berfungsinya pranata struktur sosial (pemerintah dan elemen masyarakat) terhadap kecenderungan remaja untuk memanfaatkan tempat-tempat tertentu (komba-komba) untuk melakukan hubungan seks (2) Keberadaan eksodus Ambon akibat konflik SARA tahun 1999 dan 2000 mempengaruhi pola interaksi sosial remaja dengan lingkungannya (3) Perkembangan jaringan TV kabel lokal yang menyediakan puluhan hingga ratusan program/channel, seperti: Indovission, ZTv India, Movie Star, TV5, yang seringkali menyuguhkan tayangan-tayangan syarat sensualitas (4) Kesiapan kota Baubau sebagai tuan rumah penyelenggaraan Festival Keraton Nusantara ke VIII (FKN) tahun 2012 menuntut percepatan pembangunan sarana dan prasarana publik (5) Dibentuknya kembali lembaga adat Sara Ogena sebagai cerminan kejayaan Kesultanan Buton dalam berbagai aspek kehidupan agama, pemerintahan dan adat istiadat.
  
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada abad-abad terdahulu, masyarakat tidak menandai masa remaja (adolescence) sebagai suatu masa yang khas dalam kehidupan. Orang menjalani perubahan dari masa anak-anak ke pemuda dewasa tanpa persinggahan di antaranya. Berdasarkan latar belakang terjadinya revolusi industri, banyak remaja tidak dikategorikan sebagai angkatan kerja, sehingga remaja lebih ditekankan pada aspek pendidikan saja untuk mencapai suatu kesuksesan hidup.

Masa remaja merupakan masa dimana anak berusia 13-21 tahun. Dalam usia inilah menurut Hall (Henslin, 2006:84) menyatakan bahwa, masa remaja adalah masa yang terkenal karena gejolak batinnya. Lebih lanjut, Henslin menyatakan bahwa, remaja berupaya menciptakan suatu identiitas yang berbeda, mengembangkan subkultur mereka sendiri, baik dengan busana, gaya rambut, bahasa, gerak isyarat, dan musik yang khas. Lebih lanjut, Henslin menegaskan bahwa gejolak batin yang terjadi pada remaja dipengaruhi atau dibentuk oleh perkembangan yang ada di tengah-tengah masyarakat, seperti dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat global. Namun demikian, perlu dipahami juga bahwa, masa remaja adalah masa yang sangat baik untuk mengembangkan segala potensi yang mereka miliki, seperti bakat, kemampuan dan minat. Selain itu, masa remaja adalah masa pencarian nilai-nilai hidup. Oleh karena itu, bimbingan keluarga terutama nilai-nilai ajaran agama dan kearifan budaya lokal harus ditanamkan sehingga menjadi pedoman hidup remaja.

Pada suatu masyarakat tertentu, untuk menanamkan identitas diri dan menandai masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa, masyarakat yang masih kental terhadap nilai dan norma kebudayaan menyelenggarakan ritus inisiasi (initiation rites). Sedangkan remaja di dunia industrialisasi harus menemukan “diri” mereka sendiri, atau oleh penulis disebut sebagai “proses pencarian jadi diri”, termasuk dalam aspek seks bebas  sebagaimana telah dikemukakan pada bagian awal tulisan ini.

Keterkaitan antara uraian di atas dengan kondisi rill yang ada di masyarakat Kota Baubau, dikenal pula proses transformasi (peralihan) dari anak-anak menjadi remaja yang diwujudkan dalam gerak kebudayaan (tradisi) “Posuo” atau dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai tradisi “Pingitan”. Sesudah dilakukannya “Posuo”, maka anak tersebut dalam masyarakat telah diakui sebagai remaja dan bukan anak-anak lagi.

Remaja sebagai subkultur dalam masyarakat tidak terlepas dari suatu perilaku (Atribusi) yang dibentuk dari berbagai faktor, baik dari dalam diri remaja seperti sikap, ataupun sifat-sifat tertentu, maupun dari luar diri remaja (ekstern), yaitu situasi. Perilaku yang dalam pandangan sosiologis disebut sebagai atribusi, oleh Fritz Heider (Walgito, 2003:59) menyebutkan bahwa, perilaku dapat disebabkan oleh faktor internal (atribusi internal) dan faktor eksternal (atribusi eksternal).

Menurut Walgito (2003:59), dalam perspektif teori atribusi menekankan pengetahuan tentang orang-orang yang ada di sekitar kita melalui beberapa cara, yaitu (1) dengan melihat apa yang ditampakkan oleh yang bersangkutan secara fisik, misalnya cara berpakaian, atau cara penampilan diri (2) langsung menanyakan kepada yang bersangkutan, misalnya tentang pemikirannya, motifnya, dan (3) dari perilaku orang yang bersangkutan, over action, sekaligus menjadi sumber terpenting dari yang bersangkutan.

Perilaku seks bebas disebut pula sebagai masalah sosial, karena ketidaksesuaiannya dengan unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Jika terjadi bentrokan antara unsur-unsur yang ada dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial. Masalah sosial muncul akibat terjadinya perbedaan yang mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan realita yang ada. Adapun sumber masalah sosial, terutama menyangkut praktek seks bebas menurut interpretasi penulis antara lain: (1) faktor ekonomi (2) faktor budaya (3) faktor biologis, dan (4) faktor psikologis.

Perkembangan seks bebas pada remaja paling tidak dipengaruhi oleh tiga proses, yaitu: a) sekulerisasi, b) globalisasi dan modernisasi, serta c) westernisasi (Sahaka, 2007:21). Dapat diinterprtasikan bahwa, proses sekulerisasi yang menempatkan agama sebagai pemasung nilai-nilai intelektual dan kebebasan manusia menyebabkan terjadinya pertentangan antara pemenuhan kepentingan duniawi manusia dan nilai-nilai ajaran agama yang seharusnya menjadi acuan normatif dalam berkehidupan. Proses globalisasi dan westernisasi. Perkembangan yang terjadi di berbagai aspek dan sektor kehidupan manusia membawa suatu perubahan kehidupan. Manusia melakukan kegiatan ekonomi hingga tingkat global, melahirkan kegiatan pariwisata yang menyebabkan orang melakukan perjalanan ke berbagai belahan dunia. Dalam perkembangannya, mereka yang melakukan perjalanan pariwisata tanpa disadari membawa kebiasaan atau kebudayaannya ke negara atau daerah tujuan wisata. Pada akhirnya, masyarakat yang ada di daerah tujuan wisata tersebut menganggap apa yang dibawa wisatawan merupakan hal-hal positif, hingga membanggakannya. Cara hidup dan kebudayaan Barat ditiru mentah-mentah dengan mengenyampingkan kebudayaan lokal. Dengan kata lain, masyarakat menerimanya tanpa menggunakan kebudayaan lokal sebagai filternya, dampaknya melahirkan gaya hidup kebarat-baratan. Kedudukan remaja dalam hal ini sebagai pihak yang paling rentan terhadap perubahan akibat adanya kegiatan perjalanan dan kegiatan pariwisata, menjadi sangat penting untuk dberikan pemahaman akan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal, sehingga tidak tercemari oleh gaya hidup kebarat-baratan tersebut.
  
Agar hubungan antar manusia sebagai anggota masyarakat dapat berjalan sebagaimana yang diinginkan, diperlukan suatu sistem nilai atau norma. Nilai dan norma yang ada selanjutnya menjadi kekuatan yang sifatnya mengikat anggotanya, sehingga harus dipatuhi dan ditaati bersama, sedangkan mereka yang melanggar akan mendapat konsekuensi sosial tertentu sesuai dengan kesepakatan yang telah diatur dalam sistem nilai dan norma tersebut.

Masyarakat kota Baubau sebagai eks. Kesultanan Buton syarat dengan nilai-nilai islami dalam kebudayaannya. Kebudayaan sebagai keluhuran hasil karya leluhur dibangun bersendikan ajaran agama melalui pemahaman sufistik mendalam, sehingga dalam berbagai aspek terdapat banyak wujud gerak kebudayaan yang mengatur kehidupan sosial ekonomi, politik dan pemerintahan, maupun hak-hak beragama dan berbudaya. Dalam terjemahan sederhana, empat asas bernegara yaitu (1) inda-indamo arata somanamo karo, yang bermakna kepentingan diri di atas kepentingan harta (2) inda-indamo karo somanamo lipu, bermakna kepentingan negeri di atas kepentingan diri/pribadi (3) inda-indamo lipu somanamo sara, yaitu kepentingan pemerintah/hukum di atas kepentingan negeri, serta (4) inda-indamo sara somanamo agama, adalah kepentingan agama di atas segala. Walaupun keempat asas ini pada awalnya digunakan sebagai mesin politik perang secara historis, tetapi dapatlah digunakan dan diterjemahkan untuk berbagai kepentingan, dalam hal ini peneliti mencoba mengungkap maknanya dari sudut pandang berbeda (sosiologis) terkait dengan ketidakberfungsian struktur sosial di kota Baubau, serta hubungannya dengan kedudukan individu remaja, elemen masyarakat dan pemerintah terkait dengan perkembangan perilaku seks bebas. Oleh karena itu, keempat asas di atas diinterpretasikan sebagai berikut:

Inda-indamo arata somanato karo, kepentingan diri di atas kepentingan harta. Seperti yang kita pahami bersama, harta mengandung unsur duniawi sehingga untuk mendapatkannya berbagai cara ditempuh. Tujuannya untuk mendapatkan kemudahan dan kesenangan dalam hidup. Harta juga bermakna kesenangan. Pemanfaatan kendaraan bermotor untuk menjangkau berbagai tempat guna berbuat seks bebas oleh remaja adalah salah satu dimensi kesenangan harta. Bahkan tidak jarang, pelacuran juga diakibatkan oleh suatu sikap untuk memperoleh sesuatu yang berlebih. Dalam perspektif ini, maka remaja seyogyanya memahami eksistensi dirinya, yaitu belajar dan berprestasi adalah tujuan utama yang harus dicapai, baik dibidang seni maupun olah raga. Dengan berprestasi, remaja mampu menghindarkan diri dari perilaku seks bebas karena disibukkan berbagai kegiatan yang produktif, berwawasan dan menjadi remaja yang enerjik. Namun untuk mencapai tujuan tersebut, keterlibatan orang tua, institusi pendidikan dan elemen masyarakat merupakan hal yang dibutuhkan.

Inda-indamo karo somanamo lipu, kepentingan negeri di atas kepentingan diri. Dalam perspektif ini, kepedulian pemerintah dan elemen masyarakat menjadi kunci utamanya. Pranata sosial harus dapat dilaksanakan secara tegas berdasarkan visi ke depan. Pembangunan fisik kota menjadi tidak berarti jika remaja sebagai generasi pelanjut mempunyai mental yang rusak, mengalami kemerosotan moral akibat perilaku seks bebas. Pada akhirnya, kontrol ketat terhadap keberfungsian berbagai sarana dan prasarana publik maupun wilayah yang terindikasi sering digunakan pasangan remaja harus dapat dilakukan sebagai langkah nyata dan antisipasi kecenderungan perilaku seks bebas remaja.

Inda-indamo lipu somanamo sara, kepentingan pemerintahan/hukum di atas kepentingan negeri. Artinya, pemerintah dan elemen masyarakat mutlak harus menjalankan peran dan fungsinya sebagai kontrol sosial dalam menciptakan keharmonisan kehidupan sesuai dengan dasar-dasar budaya lokal, karena kebudayaan lokal melambangkan sikap dan perilaku luhur yang dibangun di atas fondasi islami.

Inda-indamo sara somanamo agama, kepentingan agama di atas segalanya. Terlihat jelas bahwa, pranata sosial dalam sistem kebudayaan lokal bertujuan untuk menegakkan sendi-sendi kehidupan beragama. Perilaku seksual remaja jauh dari nilai-nilai agung islami, dapat menyebabkan kerusakan mental atau moral remaja dan lingkungan masyarakat sekitar. Dalam kacamata agama, perilaku seks bebas merupakan kesenangan sesaat dan mempunyai konsekuensi berat di akhirat. Tetapi yang lebih penting adalah, ajaran agama melarang perilaku seks bebas karena untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan hidup yang telah dikodratkan oleh Allah Swt.

Keseluruhan uraian di atas menurut pemahaman penulis juga sebagai akibat tidak efektifnya interaksi sosial yang ada, yaitu pemerintah dan elemen masyarakat. Jika interaksi sosial berjalan efektif, tentu saja perilaku seks bebas pada remaja sebagaimana telah dikemukakan sebelum ini dapat di tanggulangi. Menurut Walgito (2003:65), interaksi sosial merupakan hubungan antara individu satu dengan individu lainnya, menciptakan hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Disamping itu, manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan orang lain untuk saling berinteraksi. Interaksi sosial yang terbangun inilah pada dasarnya mampu membendung berkembangnya seks bebas.

Lebih lanjut, secara konseptual maupun aplikatif, interaksi sosial masyarakat kota Baubau sebagai pusat eks. Kesultanan Buton telah mengalami pergeseran nilai-nilai hidup, atau dengan kata lain telah terjadi perubahan sosial yang ekstrim mengingat dalam sistem kebudayaan setempat kehidupan sosial diatur dalam sebuah pranata, yaitu falsafah “Sara Patanguna” (sara = hukum, patanguna = yang empat) atau empat dasar hukum dalam berkehidupan, yaitu: (1) poangka-angkataka, artinya saling menghargai (2) pomaa-maasiaka, artinya saling asa, asih, asuh (mengasihi) (3) popia-piara, artinya saling memelihara, serta (4) pomae-maeka, artinya saling segan satu sama lain. Keempat dasar hukum ini selanjutnya terintegrasi dalam istilah “Pobinci-binciki Kuli” artinya, saling mencubit diri sendiri (jika sakit kepada diri, begitu pula halnya kepada orang lain) sebagai Undang-Undang Pemerintahan Kesultanan Buton masa lampau, namun sangat disayangkan bahwa hal tersebut dalam dinamika kehidupan sosial masyarakat saat ini tinggal menjadi suatu sikap yang apriori, yaitu pengagungan nilai dan norma kebudayaan. Oleh karena itu, oleh peneliti menyebutnya sebagai “So Kaogena Yinca”, yaitu sebatas membesarkan jiwa atas keluhuran adat dan tradisi.  

Pranata berkehidupan sosial masyarakat dalam falsafah di atas, seharusnya mewujudkan sikap tegas struktur sosial (Pemerintah dan elemen masyarakat) dalam mengawal perkembangan adaptasi psikis remaja terhadap lingkungan di Kota Baubau yang telah terjamah nilai-nilai modernitas melalui berbagai bentuk pembangunan dan pengembangan kota sebagai tanda bergeraknya masyarakat kearah suatu perubahan, baik perubahan yang bersifat cepat maupun lambat, namun dalam perspektif sosiologis hal ini disebut sebagai cultural lag, yaitu ketidaksiapan kulltur masyarakat terhadap terjadinya perubahan dalam berbagai bentuk yang ada di tengah-tengah masyarakat. 

Pembangunan kota dari aspek fisik menciptakan suatu pergerakan ekonomi, menuntut terciptanya penyediaan jasa dan layanan untuk memfasilitasi keterwujudannya. Dalam situasi ini, elemen masyarakat sibuk dengan rutinitas ekonominya sehingga mengenyampingkan tumbuh kembang remaja terhadap lingkungan, mengabaikan aspek pembangunan ruhani yang menyebabkan ruang bebas bagi para remaja untuk mengekplorasi diri dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hal ini perilaku seks bebas.

Keempat dasar hukum atau pranata yang bersifat normatif, falsafah “Bhinci-binciki kuli” dalam tataran ideal mampu mewujudkan keteraturan sosial “Equilibrium” dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, keempat dasar hukum di atas dapat diinterpretasikan peneliti sebagai berikut:

Poangka-angkataka: Saling menghargai. Dalam tataran konsep ini, pemerintah dan elemen masyarakat harus mengetahui peran dan fungsinya. Berbagai kebijakan yang telah dirumuskan atau dikeluarkan pemerintah kota harus ada unsur elemen masyarakat di dalamnya, karena tentu saja masyarakat adalah objek komunal sasaran kebijakan. Pemerintah kota harus membangun partisipasi aktif elemen masyarakat dalam mengawal berbagai aspek kehidupan sosial yang sedang atau akan berkembang. Elemen masyarakat juga diharapkan ikut ambil bagian dalam berpartisipasi mengawal dan menyukseskan kebijakan dan program pemerintah terhadap upaya penanggulangan perkembangan dan kecenderungan perilaku seks bebas remaja sebagai suatu masalah yang sifatnya patologis tersebut.

Pomaa-maasiaka: Saling mengasihi. Dalam konsep ini terkandung makna bahwa, elemen masyarakat termasuk di dalamnya institusi sosial menjalankan peran dan fungsinya untuk memberikan contoh-contoh teladan kepada generasi muda, menasehati bagaimana cara bergaul, menegur para pasangan remaja yang berdua-duaan pada tempat yang sepi dan gelap, yang memungkinkan mereka bisa mengarah pada perbuatan yang melanggar sesuatu yang sifatnya normatif, baik nilai dan norma agama maupun kultur masyarakat. Pembekalan moral harus diberikan kepada remaja melalui berbagai kegiatan kurikuler maupun ekstrakurikuler. Pembentukan kelompok-kelompok pencinta alam, karya musik dan seni, serta kelompok-kelompok olah raga bisa menjadi dasar menubumbuhkan sikap positif remaja terhadap kehidupan. 

Popia-piara: Saling memelihara. Pemerintah melakukan pengawasan dan kotrol yang ketat terhadap pemanfaatan dan keberfungsian sarana dan prasarana publik maupun wilayah disekitarnya, sedangkan masyarakat memberikan anjuran dan teguran kepada pasangan remaja yang masih berduaan khususnya pada jam-jam tertentu di atas batas waktu toleransi keberadaan mereka di sekitar lokasi tersebut. Dengan demikian, akan tercipta suatu keteraturan sosial (equilibrium) sebagaimana yang diinginkan agama dan kultur masyarakat.  

Pomae-maeaka: Saling segan tugas dan tanggung jawab masing-masing sebagai anggota masyarakat. Dalam perspektif ini, keberadaan tokoh-tokoh masyarakat sangat berperan penting sebagai contoh teladan dan acuan para remaja dalam bersikap terhadap lingkungan dan perkembangan yang ada. Tokoh masyarakat harus mampu memberikan sesuatu yang sifatnya dapat menjadi sumber ide dan pencerahan bagi para remaja maupun anggota masyarakat lainnya. Ide-ide kreatif remaja harus diberikan ruang seluas-luasnya sehingga kegiatan-kegiatan yang bersifat positif dapat mengakar pada remaja itu sendiri.

Pranata sosial yang menjadi acuan normatif di atas pada kenyataannya sudah tidak dapat diimplementasikan struktur sosial di kota Baubau. Artinya, telah terjadi pergeseran nilai agama dan kebudayaan yang mungkin dipengaruhi oleh modernisasi dari proses pembangunan kota yang terus digalakkan, menyebabkan ruang bebas kepada remaja untuk berperilaku seks bebas karena proses netralisasi, anggapan bahwa semua hal yang dilakukan tidak merugikan orang lain atau masyarakat.

Pemerintah yang sadar akan peran dan fungsinya dalam melaksanakan pembangunan fisik harus disertai oleh kontrol keberfungsiannya, sedangkan elemen masyarakat mengawal keterlaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah serta melakukan pembekalan ruhani kepada remaja sebagai generasi dan tonggak utama pembangunan. Berdasarkan keempat dasar hukum sebagaimana telah diuraikan sebelumnya sebagai acuan normatif dalam berkehidupan, pada akhirnya falsafah “pobinci-binciki kuli” yang dimaknai sebagai rasa sakit saat mencubit diri sendiri begitu juga sebaliknya, maka permasalahan yang dihadapi sebahagian remaja sebagai subkultur dalam masyarakat dapat diminimalisir perkembangannya, karena telah terjadi sinergitas antara pemerintah dan elemen masyarakat sebagai sebuah struktur yang kokoh dalam melaksanakan dan menegakkan sendi-sendi kehidupan beragama dan berbudaya sesuai dengan nilai-nilai dan norma kearifan lokal.
  
Dalam proses perubahan sosial, modifikasi yang terjadi seringkali tidak teratur dan tidak menyeluruh, meskipun sendi-sendi yang berubah itu saling berkaitan secara erat, sehingga melahirkan ketimpangan. Cepatnya perubahan teknologi dan pembangunan aspek fisik kota jelas akan membawa dampak luas ke seluruh institusi sosial sehingga munculnya kejahatan seksual dan kriminalitas remaja yang tidak bisa dicegah.

Untuk itulah pendidikan harus mampu melakukan analisis kebutuhan nilai, pengetahuan dan teknologi yang paling mendesak dapat mengantisipasi kesiapan masyarakat dalam menghadapi perubahan. Pembahasan dan analisis mengenai perubahan sosial akibat perilaku seks bebas remaja dan pendidikan seks tidak terlepas dari konsep modernisasi. Sebagai sebuah proses masyarakat dunia, modernisasi merupakan gejala universal yang dapat dijadikan sebagai kerangka acuan guna memahami konteks sosial dan pendidikan. Dari sinilah dapat ditarik interpretasi mengenai perspektif perubahan sosial dan arah pendidikan.

Melalui pewarisan kebudayaan dan internalisasi pada setiap individu, pendidikan hadir dalam bentuk sosialisasi kebudayaan, berinteraksi dengan nilai-nilai masyarakat setempat dan memelihara hubungan timbal balik yang menentukan proses-proses perubahan tatanan sosio kultur masyarakat dalam rangka mengembangkan kemajuan peradabannya. Sebaliknya, dimensi-dimensi sosial yang senantiasa mengalami dinamika perkembangan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan faktor dominan yang telah membentuk eksistensi pendidikan manusia. Penggunaan alat dan sarana kebutuhan hidup yang modern selanjutnya memungkinkan pola pikir dan sikap manusia untuk memproduk nilai-nilai baru sesuai dengan intensitas pengaruh teknologi terhadap tatanan kehidupan sosial budaya.

Menurut sosiolog Andi Agustang yang dikutip pernyataannya dalam Facebook (26 April 2011) menegaskan bahwa, pendidikan seks ialah salah satu upaya katub pengaman agar tidak beresiko dalam ranah pergaulan bebas. Namun, perlu di pahami bahwa, pergaulan bebas dan seks bebas merupakan salah satu ciri globalisasi dan hedonisme kebudayaan Barat. Kebudayaan orang-orang yang steril dari basis keberimanan (teologis) atau keluar dari doktrin keadaban agung. Mereka yang terlibat gaya hidup demikian sebatas mengikuti irama kiblat menyenangkan dan memuaskan, dan bukan kultur mendamaikan dan menyelamatkan peradaban, yang selalu atau sering diburu adalah kepuasan biologis, meski akibat oportunisme pemuasan ini menuntut pertaruhan nyawa banyak pihak. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana basis keberimanan (teologis) menjadi landasan kesadaran kita dalam berdinamika, atau adab karsa.

Sejumlah alasan perlunya pendidikan seks diberikan kepada remaja, baik dalam bentuk kurikuler maupun ekstra kurikuler sebagai berikut: (1) Mencegah terjadinya penyimpangan perilaku dan kelainan seksual pada diri remaja (2) Memelihara kekokohan nilai-nilai pranata sosial yang berlaku di dalam satu masyarakat tertentu (3) Memberikan wawasan dan pengetahuan terhadap fungsi alat reproduksi dan hubungannya dengan produktivitas akademik remaja, seperti prestasi dalam berbagai bidang seni dan olah raga (4) Pembekalan psikis remaja terhadap proses kematangan biologis dan aspek-aspek perkembangannya (5) Menghindarkan remaja dari kesalahan persepsi terhadap seks, faktor penyebab dan dampak yang ditimbulkan, seperti kehamilan di luar ikatan pernikahan, gangguan dan tekanan psikologis, maupun berkembangnya penyakit menular.

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, kesimpulan yang dapat ditarik adalah, bahwa kecenderungan perilaku seks bebas terhadap remaja di Kota Baubau karena hubungan pacaran yang tidak sehat, berorientasi pada pemenuhan hasrat seksual dari pasangan masing-masing, tempat yang sepi, gelap dan tidak terjangkau oleh anggota masyarakat, serta kurang intensifnya waktu pengawasan/kontroling yang dilakukan oleh pemerintah dan elemen masyarakat, diperburuk oleh ketidakmampuan struktur dan kultur sosial. Pemerintah dan elemen masyarakat tidak mampu menjalankan peran dan fungsinya sebagai kontrol sosial, walaupun kultur masyarakat kontra terhadap perkembangan seks bebas remaja, serta rendahnya wawasan dan pengetahuan remaja terhadap pendidikan seks menyebabkan perilaku seks bebas merusak sendi-sendi kehidupan beragama dan berbudaya dalam kehidupan sosial di kota Baubau.

DAFTAR PUSTAKA
Abdulsyani. 2007. Sosiologi. Sistematika, Teori, dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara; Andi Agustang, (Online), (http://facebook/status.com, Diakses tanggal 26 April 2011); Beilharz, Peter. 2005. Teori-Teori Sosial (Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka). Yogyakarta: Pustaka Pelajar; Henslin, H. James. 2006. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi. Jilid I & II. Edisi 6. Jakarta: Erlangga; Kartono, Kartini. 2007. Patologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada; Kartono, Kartini. 2005. 2005. Patologi Sosial 2 (Kenakalan Remaja).  Jakarta: Raja Grafindo Persada; Kuper dan Kuper. 2009. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Rajawali Pers; Ritzer, Geoge. 2010. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarata: Raja Grafindo Persada; Sahaka. 2007. Seks Bebas, (Online), (http:www.sahaka/emporium/-seksbebas .go.id/html, Diakses 18 April 2010); Soyomukti, Nurani. 2010. Membongkar Aib Seks Bebas dan Seks bebas  Kaum Selebritis (Pilihan Jalan: Meluna atau Merieke). Bandung: Nuansa; Soekanto, Soerjono. 2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada; Soekanto, Soerjono. 1978. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia; Sulistiyo, Herman. 2005. Mempersiapkan Masa Puber. Jakarta: Restu Agung; Walgito, Bimo. 2005. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Andi; Wijayanto, Iip. 2003. Universitas Kost-kostan dan Pondokan (Panduan dan Tips memilih kost yang sehat). Yogyakarta: Tinta; Willis, Sofyan. 2010. Remaja dan Masalahnya (Mengupas Berbagai Bentuk Kenakalan Remaja, Narkoba, Free Sex, dan Pemecahannya). Bandung: Alfabeta; Wulansari, Dewi. 2009. Sosiologi Konsep dan Teori. Bandung: Refika Aditama.