Lingkungan adalah satu variabel yang dapat
memengaruhi manusia dalam hubungan interaksionalnya. Lingkungan sekaligus
menjadi komponen penting fenomena sosial dalam bingkai utuh kebudayaan, secara
khusus pada masyarakat Buton melalui sebuah kearifan lokal ynag disebut sebagai
“kaombo”. Kaombo adalah kearifan lokal yang bersifat instrumental, sebab
mengandung unsur normatif. Nilai kenormatifan kaombo termaktub dalam Undang-Undang Martabat Tujuh Kesultanan
Buton, menggariskan ketentuan hukum tata laku masyarakat kaitannya dengan upaya
pengelolaan dan pelestarian ekosistem lingkungan hayati. Oleh masyarakat Buton,
kaombo merupakan seperangkat nilai
yang bersifat mengikat dan memaksa. Disamping itu, kaombo juga diartikan sebagai barang sesuatu yang mengandung unsur
magis, digantung pada tetanaman. Tujuannya untuk menghidarkannya dari perbuatan
manusia secara tidak bertanggung jawab. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa: (i)
kaombo adalah manisfestasi
gugusan ide dan pengetahuan masyarakat Buton atas upayanya menciptakan
harmonisasi hubungan antara manusia dengan lingkungan secara fisisnya. Oleh
karena itu, ketercapaian peran Kaombo
pada hakikanya merupakan upaya preventif dalam mencegah kemungkinan dampak
buruk yang dapat ditimbulkan dari kerusakan ekosistem lingkungan (ii) kaombo merupakan gugusan ide,
pegetahuan, dan kemajuan pola pikir manusia lokal dalam mengawal tata laku
berkehidupan warganya sekaitan eksistensi keberadaan dan hubungan interaksinya
dengan lingkungan, dan (iii) kaombo
cukup potensial termanfaatkan sebagai perangkat instrumental dala upaya
pengelolaan dan pelestarian lingkungan (Sebahagian dari isi catatan ini telah
dipublikasikan pada Jurnal Sosiologi Dialektika Kontemporer. Volume I. Nomor I.
Januari – Juni 2013. ISSN 2303 – 2324. Program Pascasarjana Universitas Negeri
Makassar – La Ode Muhammad Deden Marrah Adil, S,Pd., M.Pd).
PENDAHULUAN
Modernisasi merupakan imbas dari globalisasi, yaitu keterbukaan interaksi
antar satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Modernisasi ditandai dengan
industrialisasi. Modernitas menyentuh aspek kebudayaan masyarakat dalam mana
Archetti (Kuper dan Kuper, 2008: 671) mencirikannya ke dalam tiga bagian,
yaitu: (1) dalam bidang budaya, pengandalan pada penalaran dan pengalaman
menyebabkan pertumbuhan ilmu pengetahuan dan kesadaran ilmiah, sekularitas, dan
rasionalitas instrumental (2) sebagai moda kehidupan didasarkan pada
pertumbuhan masyarakat industri, mobilitas sosial, ekonomi pasar, kemelekan
huruf, birokratisasi dan konsolidasi negara bangsa, dan (3) membesarkan sebuah
konsepsi bahwa manusia adalah bebas, otonom, bisa mengendalikan diri dan
refleksif. Oleh karena itu, industrialisasi sangat identik dengan meningkatnya
produktivitas barang dan jasa untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Tidak
terkecuali di bidang kehutanan yang ditandai dengan peralihan fungsi hutan
untuk keseimbangan ekosistem alam menjadi kawasan industri seperti kelapa
sawit, perkebunan teh, pohon jati produksi dan semacamnya. Di sisi lain, laju
pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dan pergerakan masyarakat dari kota
ke desa menuntut tersedianya pembukaan lahan-lahan hutan menjadi wilayah
pemukiman penduduk. Belum lagi usahawan bermodal cukup yang berorientasi
keuntungan menanamkan modal tertentu agar memperoleh wilayah hutan sehingga dapat
dikelola dan dimanfaatkan untuk kegiatan industrialisasi produksi barang dan
jasa.
Negara dalam hal ini Pemerintah selaku pemegang kendali dan kebijakan
pengelolaan dan pengadaan tanah bagi kepentingan umum sebagaimana dituangkan
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Pasal 1 ayat 7 disebutkan bahwa “hak
Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya
sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya”. Ayat ini bermakna paradoks, karena
seolah-olah pemerintah dengan mudah dapat mengatur hak pengelolaan tanah
sedangkan di sisi yang lain juga memberikan keleluasaan kepada pihak pemegang
aset tanah (perorangan maupun korporasi) atas pengelolaan dan pemanfaatan tanah
kawasan hutan sebagai sebuah industri yang dapat menghasilkan barang produksi
bernilai komersil, mendatangkan keuntungan dari pajak penghasilan yang dapat
diterima negara. Maka tidak mengherankan bilamana Pemerintah menerbitkan
ketentuan hukum Hak Pengelolaan Hutan (HPH) kepada setiap warga negara atau
korporasi/investor yang dianggap layak dan mampu memberi kontribusi kepada
penambahan pundi-pundi uang/kas negara melalui pajak penghasilan produksinya,
walau pada akhirnya berpotensi menggeser tatanan nilai dan struktur masyarakat
Indonesia di daerah-daerah yang notabene masih berpegang pada nilai kearifan
lokal, termasuk dalam hal ini Buton sebagai daerah tingkat II sekaligus bekas
pusat wilayah Kesultanan Buton.
Sejatinya, pengelolaan dan pemanfaat sumber daya alam hayati dan hewani
terutama untuk upaya konservasi hutan, harus dilakukan secara arif dan
bijaksana, walaupun tata kelolanya dirancang dalam satuan sistem yang cukup
kompleks, tetapi bertujuan untuk mewujudlahirkan kesejahteraan masyarakat.
Bagi Pemerintahan Kesultanan Buton hingga bubarnya tahun 1960, sebagaimana termaktub
dalam Undang-Undang Martabat Tujuh wilayah hutan lindung disebut sebagai Kaombo,
tersebar di empat wilayah Bharata
(daerah kerajaan otonom) dan 72 wilayah Kadie
(wilayah setingkat desa). Oleh karena itu, dalam transiterasi leksikalitas
bahasa Buton, Kaombo bermakna “hutan larangan”, atau hutan
lindung yang pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya alamnya yang
tersedia diatur dan diawasi secara ketat oleh syarat Bharata/Kadie dengan
ancaman hukuman tertentu (punishment), namun juga sebagai sebuah
penghargaan (reward) bagi mereka yang ikut berjasa, berkontribusi di
banyak aspek berkehidupan lingkup Pemerintahan Kesultanan Buton.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk membangun kesadaran masyarakat
tentang arti penting membumikan kembali nilai-nilai kearifan lokal di setiap
penjuru nusantara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dalam
beberapa dekade terakhir cenderung materialis seiring pesatnya perkembangan
modernisasi sebagai imbas dari globalisasi, yaitu berlangsungnya interaksi
secara terbuka antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Mengapa, sebab
nilai-nilai kearifan lokal ini merupakan komponen penting terbentuknya
kebudayaan nasional, yang dalam perspektif sosiologis merupakan satu dari enam
modal sosial (Social Capital) yang
seharusnya dapat dioptimalkan untuk memampukan masyarakatnya bergerak secara
dinamis dalam rangka perwujudan pembangunan. Demi terciptanya kehidupan
bermasyarakat yang harmonis, stabil dan terhindar dari terciptanya
ketegangan-ketegangan (konflik) antar struktur dalam tatanan kehidupan
berbangsa dan bernegara, khususnya dimana nilai kearifan lokal itu bertumpu.
Kearifan lokal merupakan sumber nilai yang ada dalam satu kebudayaan
masyarakat tertentu scara integral. Kearifan lokal adalah sebuah pranata yang
mengarahkan warga masyarakatnya senantiasa tunduk dan taat sebagai norma-norma
kebudayaan lokal. Oleh karena itu, kearifan lokal merupakan kerangka sistemik
yang sifatnya sistemik dan berlaku mengikat perilaku warganya.
Kaombo sebagai kearifan lokal Buton merupakan sistem
gagasan dan pengetahuan yang mengarahkan masyarakat senantiasa ikut serta dalam
pelestarian kawasan hutan untuk menjaga harmonisasi interaksi manusia dengan
alam. Dengan kata lain, Kaombo
merupakan manifestasi simbolik masyarakat Buton terhadap sistem nilai dan norma
kebudayaan lokal terhadap arti pentingnya menjaga dan melestarikan hutan,
sehingga bukan saja mampu berkontribusi positif bagi aspek berkehidupan
masyarakat, tetapi juga menghindarkannya dari dampak buruk kerusakan lingkungan
hayati.
METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif.
Dimaksudkan untuk mengeksplorasi berbagai informasi tentang Kaombo sebagai kearifan lokal masyarakat
Buton. Data dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu data primer yang bersumber
dari informan penelitian. Data sekunder berupa konsepsi teoritis tentang
kearifan lokal yang bersumber dari berbagai narasi data. Data dianalisis secara
deskriptif, melalui empat tahapan (Miles dan Hubermen, 1994; Ratna, 2010),
yaitu: (1) data collection,
pengumpulan data (2) data reduction,
penyeleksian data secara representatif (3) data
display, penyajian data sebagai suatu hasil analisis dan interpretasi
terpadu, dan (4) conclution drawing atau verifying, adalah penarikan kesimpulan
guna menjawab permasalahan penelitian. Berdasarkan analisis tersebut, maka
penarikan kesimpulan penelitian diarahkan untuk mendeksripsikan peran kaombo dalam pengelolaan lingkungan,
dinamika penafsiran simbolik atas kaombo
oleh masyarakat, dan prospek kaombo
dalam pengelolaan lingkungan.
PEMBAHASAN
Sosiologi secara umum masih menfokuskan diri pada kajian tentang dinamika
hubungan antar individu, maupun individu dengan kelompok. Dalam hal ini,
hubungan interpersonal dan intra personal manusia masih menjadi titik tekan
utamanya. Padahal, terciptanya hubungan interaksi itu tidak dapat terhindar
dari adanya variabel lain yang dapat memengaruhinya, termasuk dalam hal ini
adalah lingkungan yang secara integratif juga sebagai fenomena sosial.
Sama kita pahami bahwa, struktur dan sistem pengetahuan manusia bergerak
dari yang paling sederhana ke yang paling kompleks. Proses berpikir itu
kemudian menjadi ide, konsep lalu diinterpretasi hingga akhirnya teraktualisasi
dalam kehidupan nyata membentuk realitas hidup masyarakat, baik secara obyektif
maupun subyektif. Sistem pengetahuan tersebut selanjutnya menjadi gugusan
komponen sistem kebudayaan sebagai puncak tertinggi output dan outcomenya.
Oleh karena itu, kebudayaan merupakan suatu proses yang sangat kompleks.
Menyimak pengertian tersebut, maka untuk memahami manusia sebaik mungkin
seyogyanya harus sesuai dengan konteks kebudayaan. Dengan kata lain, kebudayaan
merupakan dimensi hidup yang tidak dapat dipisahkan dari rangkain tingkah laku
manusia yang menciptakannya. Dengan kata lain, manusia lahir, tumbuh, dan
berkembang bukan hanya ditentukan oleh lingkungan tetapi harus didukung oleh
sistem kebudayaan yang telah diwujudkannya.
Kajian mengenai kebudayaan telah banyak dikemukakan para teoritikus. Salah
satunya adalah Berger (Ritzer dan Goodman, 2010), yang mengartikulasikan
kebudayaan sebagai produk pemikiran manusia yang sangat kompleks. Kebudayaan
dalam hal ini sebagai hasil eksternalisasi manusia dalam rangka mengadaptasikan
dirinya dengan alam, mengubahnya secara fisis dengan bantuan alat yang
diciptakannya, berinteraksi dengan bahasa tertentu dan membangun seperangkat
simbol-simbol untuk meresapi keseluruhan aspek berkehidupannya. Hasil
kebudayaan tersebut kemudian coba di objektivasi untuk memperoleh nilai logis
dari perspektif realitas kehidupan, dalam arti sejauh mana kebudayaan tersebut
termakna, dan diinternalisasikan kembali dalam wujud berperilaku.
Peran Kaombo dalam
Pengelolaan dan Pelestarian Lingkungan
Kaombo sebagai simbolisme kearifan lokal Buton
berperan penting dalam pengelolaan dan pelestarian hutan maupun lingkungan
hayati. Arti pentingnya sejalan dengan
simpulan teoritik Duncan, Catton dan Schainberg (Susilo, 2012: 6) mengemukakan
hubungan erat antara manusia dengan lingkungan fisis, yang dalam perspektif
sosiologisnya dapat diartikan sebagai dinamika modernitas kehidupan manusia
yang terproyeksikan pada industrialisasi telah berkontribusi terhadap
terjadinya degradasi lingkungan.
Hal tersebut searah makna tersirat uraian Blummer (1986: 78) kekhasan
manusia dalam interaksinya dengan menggunakan simbol dalam proses interaksinya
sebagai berikut: The term symbolic interaction refers, of course, to the peculiar and
distinctive character of interaction as it takes place between human being. The
peculiarity consist in the fact that human being interpret or
"define" each other's actions instead of merely reacting to each
other's actions.
Uraian di atas mendeskripsikan secara jelas jika simbol-simbol yang
digunakan manusia dalam proses interaksi secara bersama-sama
ditafsir/didefinisikan satu sama lain berdasarkan makna yang ada di balik
tindakan. Artinya bahwa, perilaku tindakan orang perorang dalam proses
interaksi mendapat respon atas sebuah stimulus. Dilakukan secara repetitif sehingga
menjadi satu bentuk kebudayaan bagi manusia karena sudah bertransformasi
menjadi suatu tindakan sosial.
Kebudayaan juga merupakan suatu proses belajar untuk menghasilkan
bentuk-bentuk baru dengan mengakumulasikan pengetahuan dan keterampilan, yang tentu
saja sifatnya positif (Soekanto, 1978: 8). Dengan demikian, pengetahuan dan
keterampilan sebagaimana dimaksud adalah menyangkut nilai-nilai kearifan lokal
yang menjadi nafas budaya dalam gerak dinamika kehidupan sosial, dalam hal ini
“Kaombo” sebagai salah satu ketentuan hukum yang diatur dalam
Undang-Undang Martabat Tujuh Kesultanan Buton.
Zahari (1980:171) menguraikan bahwa, Hak-hak dan ketentuan hukum atas tanah
di Kesultanan Buton sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Martabat Tujuh
terdiri dari: (1) Turakia, adalah
tanah yang diberikan kepada syarat kesultanan untuk keperluan tempat tinggal
(2) Katampai, adalah tanah yang
diberikan kepada syarat kesultanan atas jasa yang bersangkutan kepada
kesultanan (3) Tanah pekuburan untuk
masyarakat umum dan keluarga syarat kesultanan (4) Tanah dalam lingkungan Benteng Keraton, yaitu tanah kawasan pusat
pemerintahan kesultanan Buton yang tidak dapat diperjualbelikan karena
masyarakat kawasan hanya memiliki status pakai (5) Tanah bebas, yaitu tanah yang berada di luar status Turakia dan Katampai, dan (6) Kaombo,
yaitu kawasan hutan lindung yang harus dilestarikan setiap wilayah Kadie (desa).
Kaombo sebagai komponen
kebudayaan kesultanan Buton, merupakan seperangkat konsep dan ide tentang tata
kelakuan yang harus dilaksanakan pemerintah (kesultanan) dan masyarakat yang
terlembaga (legitimatif) dalam sistem peradatan terkait dengan pengelolaan
hutan dan lingkungan secara arif dan bijaksana sehingga tidak menimbulkan
kerugian dari dampak yang bisa diakibatkannya jika bertolak belakang dengan
konsep dan ide Kaombo.
Dari beberapa informasi yang dihimpun penulis melalui wawancara langsung
dengan salah seorang sejarawan dan budayawan lokal Buton (Syafiuddin, 2012)
dijelaskan bahwa, Kaombo merupakan wilayah hutan konservasi
Pemerintah Kesultanan Buton yang segala sumber daya isinya terutama
pohon/kayunya tidak boleh ditebang, dan secara khusus keberadaan hutan itu kini
dikenal sebagai Hutan Lambusango, lalu oleh Lembaga Swadaya Masyarakat asing (Non
Goverment Organization/NGO) asing dari berbagai negara telah dinyatakan
sebagai paru-paru dunia, sehingga keberadaanya menjadi destinasi wisata, dan landscape model serta objek pengembangan
ilmu pengetahuan hayati maupun hewani”.
Berdasarkan uraian di atas, maka sejatinya Kaombo merupakan suatu terminologi ilmiah lingkup
kesultanan Buton khususnya tentang wujud nyata sistem konservasi hutan. Kaombo diwujudupayakan
oleh perseorangan atau masyarakat sekitar hutan (wilayah bharata/kadie) berdasarkan legalitas formal hukum pemerintahan
kesultanan Buton. Oleh karena itu, segala isi, potensi sumber daya yang ada
dalam hutan tersebut pengelolaannya harus melalui izin kesultanan. Hingga saat
itu tidak ada masyarakat yang berani melakukan pembalakan, pencurian dan
pemanfaatan isi hutan dengan alasan apapun. Dalam hal ini juga masyarakat
memiliki kesadaran kolektif akan arti penting kelestarian ekosistem lingkungan.
Perspektif Interaksionisme Simbolik
terhadap Kaombo
Disamping sebagai seperangkat konsep dan ide, Kaombo sekaligus
sebagai sebuah komunikasi simbolik dalam keberlangsungan proses interaksi
sosial kemasyarakatan. Bagaimana tidak, kaombo
juga dicitrakan pada sebuah wadah tertentu, diikatkan pada setiap
pohon/tanaman yang sebelumnya telah diberikan bacaan-bacaan magis (mantra)
tententu dan bertujuan untuk melindungi tetanaman dari berbagai gangguan yang
tidak diinginkan, misalnya gangguan hewan dan manusia secara tidak bertanggung
jawab.
Berdasarkan uraian di atas, maka tidak mengherankan apabila masyarakat umum
yang semakin heteregon di Buton lebih mengenal Kaombo sebagai
barang sesuatu yang memiliki daya magis/kekuatan mistikal, sebab umumnya
digantungkan pada pohon buah-buahan atau lingkungan yang oleh pemiliknya dijaga
kelola, walau pada hakikatnya juga berfungsi sebagai seperangkat konsep, ide
dan pengetahuan tentang pengelolaan dan pelestarian tanah, hutan dan
lingkungan, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Ketatanegaraan Kesultanan
Buton. Oleh karena itu, pencitraan Kaombo sebagai barang sesuatu
yang bernilai magis sesungguhnya tidak lebih dari sekedar transformasi Kaombo ke
skala yang lebih mikro, sehingga membentuk sebagai seperangkat simbol tertentu
yang digantung ikatkan pada pohon atau tanaman oleh pemiliknya.
Kaombo sebagai salah satu
unsur penting kearifan nilai budaya smasyarakat Buton secara fungsional
bersifat mengikat setiap anggota masyarakat menjalankan peran dan fungsinya
sesuai dengan kaidah-kaidah dan tata nilai budaya (lokalitas Buton) dalam
mewujudkan harmonisasi hidup manusia dengan lingkungan, terutama kepada alam.
Wilayah Kaombo sumber daya isinya tidak boleh dimanfaatkan
sembarang rupa tanpa ada legalitas Pemerintahan Kesultanan Buton terhadap
aktivitas ekplorasinya, terlebih lagi mengeksploitasi potensi sumber daya
alamnya sebagaimana marak terjadi pada berbagai daerah di Indonesia, baik
dilakukan oleh pemerintah melalui Hak Pengusahaan Hutan (HPH) maupun pihak
ketiga (korporasi/investor lokal maupun asing).
Dengan demikian, Kaombo adalah satuan wilayah hutan secara
terbatas, dibawah pengawasan sistem nilai oleh Pemerintah Kesultanan Buton saat
itu, dan sejak berintegrasinya Kesultanan Buton ke pangkuan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, maka tanggung jawab tata kelola dan pengawasan terhadap Kaombo tersebut
dilakukan sepenuhnya oleh Pemerintah Daerah setempat (Bupati/Walikota) dan
instansi pemerintah terkait.
Dalam upaya konservasi hayati tersebut, Kaombo tidak saja
sebagai sebuah cakupan wilayah hutan yang dikonservasi (dilindungi), tetapi
juga merupakan tata nilai tertinggi yang dianut pahami Pemerintah Kesultanan
Buton dan masyarakatnya dalam pengelolaan, dan pemanfaatan hutan secara tepat
guna, berkesinambungan serta tidak menyebabkan adanya pengrusakan terhadap
lingkungan. Oleh karena itu, sebagai sebuah tata nilai, Kaombo merupakan
seperangkat ide, konsep, gagasan dan pandangan terhadap upaya konservasi alam
(hutan) dalam tata kelolanya dalam skala makro.
Mangunjaya, Heriyanto, dan Gholami (2007) dalam bukunya tentang upaya konservasi
hutan berjudul “Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi dan Gerakan
Lingkungan Hidup” menjelaskan bahwa: “Kaombo merupakan upaya
reflektif masyarakat Buton t1erhadap rasa hormatnya kepada alam sehingga
diperlukan usaha pelestarian berikut isi dan sumber daya yang ada di dalamnya.
Dengan kata lain, Kaombo merupakan refleksi sistem ide,
konsep, gagasan dan pandangan masyarakat Buton terhadap upaya konservasi alam.
Lebih dari itu, Kaombo merupakan konstruksi pemikiran kosmologi,
yaitu suatu wujud kebudayaan yang secara fungsional menjadi pedoman atau
pengarah perilaku bagi manusia untuk bertindak sesuai anjuran yang terkandung
dalam sistem nilai tersebut”.
Menyimak uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa, Kaombo erat
kaitannya dengan sistem kepercayaan karena menyangkut pemahaman tentang simbol
sebagai salah satu komponen kebudayaan lokal. Dengan demikian, secara
artikulatif dapat menjadi sosok menakutkan karena dari banyak pengalaman
empiris yang telah terjadi dalam lingkup masyarakat Buton, dampak buruk yang
dapat ditimbulkan dari pengingkaran pantangan dan larangan yang terdapat di
dalamnya bisa bermacam-macam, mulai dari yang terkecil/teringan, seperti
terkena sakit secara tiba-tiba, sampai kepada yang terbesar/terberat, misalnya
kematian.
Terlepas dari unsur magis/mistik yang terdapat dalam “Kaombo” sebagaimana
penulis uraian dalam makna artikulatif simbolik sebelum ini, maka hutan
konservasi sesungguhnya dari peristilahan hutan konservasi maupun hutan secara
luas oleh Pemerintah Kesultanan Buton secara kultural merupakan suatu norma
yang hendak mengatur serta mengarahkan moralitas (etika) masyarakatnya ke arah
yang lebih manusiawi yang bersumber dari hati nurani, sekaligus perwujudan
nilai normatif pengikat kolektivitas perilaku sosial masyarakat. Senada dengan
uraian tersebut, Herimanto dan Winarno (2010: 141) mengemukakan relasi teoritik
secara maknawi, bahwa moral berkaitan dengan nilai baik-buruk perbuatan
manusia. Tindakan yang bermoral adalah tindakan manusia yang dilakukan secara
sadar, mau, dan tahu serta tindakan itu berkenaan dengan nilai-nilai moral.
Maka kedudukan Kaombo kaitannya
dengan moral dalam perspektif interaksionisme simbolik merupakan pandangan yang
didasarkan pada segenap asumsi bahwa, individu adalah obyek yang bisa secara
langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang
lain. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan
menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan
kata-kata. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk
sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang
meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang
disepakati bersama. Senada dengan hal
tersebut, Durkheim (Isambert, 2005: 190) menegaskan bahwa setiap pelanggaran moral memprovokasi intervensi oleh 'masyarakat untuk
mencegah ini penyimpangan. Dengan kata lain, setiap fakta moral yang terdiri
dari aturan perilaku yang menerapkan sanksi.
Esensi interaksionisme simbolik
adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau
pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif ini berupaya untuk memahami
perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Teori ini menyarankan bahwa, perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang
memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan
mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka.
Manusia bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas
objek-objek di sekeliling mereka. Dalam pandangan perspektif ini, sebagaimana ditegaskan
Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan
menegakan aturan-aturan, bukan aturan-aturan yang menciptakan dan menegakan
kehidupan kelompok. Hal ini menegaskan
bahwa, Kaombo sejatinya menciptakan
tatanan keteraturan dalam pengelolaan dan pemanfaatan tanah, hutan dan
lingkungan untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat.
Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut
pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat
sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka
dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi
mereka. Dalam pandangan interaksi simbolik, sebagaimana ditegaskan Blumer,
proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegaskan
aturan-aturan, bukan aturan-aturan yang menciptakan dan menegakkan kehidupan
kelompok. Mulyana, (2001: 70) menegaskan bahwa dalam konteks ini pula
dikonstruksikan dalam proses interaksi, dan proses tersebut bukanlah suatu
medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya,
melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan
kekuatan sosial.
Jika bertumpu pada pandangan Blumer (Poloma, 2010: 258) maka dapat dipahami
bahwa simbolisme Kaombo bertumpu pada
tiga premis utama, yaitu: (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan
makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka (2) makna tersebut berasal
dan “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”, dan (3) makna-makna
tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung. Dengan
demikian, Blumer menegaskan bahwa aktor memilih, memeriksa, berpikir,
mengelompokkan, dan mentransformir makna dalam hubungannya dengan situasi
dimana dia ditempatkan dan arah tindakannya.
Berdasarkan ketiga premis perspektif interaksi simbolik tersebut, maka Kaombo sebagai hutan larangan pada
hakikatnya merupakan realitas objektif pemerintahan Kesultanan Buton ketika
itu, sebagai bagian dari pengorganisasian hutan dan hasil alamnya agar tidak
dikelola secara massal oleh anggota masyarakat yang tidak berhak atau wilayah kadie (Desa) dimana Kaombo itu berada. Kemudian bergerak menjadi menjadi realitas
subyektif manakala hutan dan lingkungan yang terjaga terus memberikan sumbangsi
besar bagi kestabilan ekosistem hutan dan lingkungan (satwa dan petumbuhan yang
ada di dalamnya) sehingga pencegahan terhadap kerusakan lingkungan di Pulau
Buton merupakan upaya preventif yang telah dilakukan sejak dulu, bahkan
terundangkan dalam Undang-Undang Martabat Tujuh Kesultanan Buton.
KESIMPULAN
Kearifan lokal merupakan komponen penting terbentuknya kebudayaan nasional.
Kearifan lokal adalah satu dari enam komponen modal sosial (Social Capital) yang sejatinya mampu dioptimalkan dioptimalkan
untuk memampukan masyarakatnya bergerak secara dinamis dalam rangka perwujudan
pembangunan demi terciptanya kehidupan bermasyarakat yang harmonis, stabil dan
tidak menciptakan ketegangan-ketegangan (konflik) antar struktur dalam tatanan
kehidupan, secara khusus dimana nilai kearifan lokal itu bertumpu.
Menyimak berbagai paparan hasil pembahasan sebelum ini, maka penarikan
kesimpulan penelitian ini setidaknya terarah pada tiga hal pokok, yaitu: (1)
wujud harmonisasi masyarakat Buton dengan lingkungan dimanifestasikan ke dalam
sistem nilai yang disebut sebegai “Kaombo”.
Kaombo dimaksudkan sebagai satu
bentuk tata laku yang sifatnya mengikat setiap masyarakat Buton agar senantiasa
berlaku arif dan bijaksana dalam menjaga ekosistem lingkungan hidup. Ketercapaian
peran Kaombo pada hakikanya merupakan
upaya preventif dalam mencegah kemungkinan dampak buruk yang dapat ditimbulkan
dari kerusakan ekosistem lingkungan (2) Walaupun kaombo dapat diinterpretasi secara berbeda oleh masyarakat, baik
itu sifatnya sebagai sistem nilai dan norma kebudayaan lokal maupun simbolisme
materil kebendaan dan termakna khusus mengandung unsur mistisme, kaombo tetap saja dipahami sebagai
gugusan ide, pegetahuan, dan kemajuan pola pikir manusia lokal dalam mengawal
tata laku berkehidupan warganya sekaitan eksistensi keberadaan dan hubungan
interaksinya secara fisis dengan lingkungan, dan (3) prospektif kaombo sebagai sistem nilai dan
simbolisme kebudayaan yang mengatur tata laku kehidupan lokalitasnya terhadap
lingkungan cukup potensial termanfaatkan sebagai perangkat instrumental upaya
pengelolaan dan pelestarian lingkungan dalam mewujudkan kemaslahatan hidup
bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Blummer, Herbert. 1986. Symbolic Interacionism, Perspective and
Method. Berkeley Los Angeles/London: University of California Press; Fachruddin
M. Mangunjaya, Husain Heriyanto, Reza Gholami. 2007. Menanam Sebelum Kiamat:
Islam, Ekologi dan Gerakan Lingkungan Hidup. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia; Herimanto
dan Minarno. 2010. Ilmu Sosial dan Budaya
Dasar. Jakarta: Bumi Aksara; Isambert, Francois Andre. 2005. Durkheim’s Sociology Of Moral Facts.
ISBN 0-203-16825-9 Master e-book ISBN. London and New York: Routledge; Kuper, Adam dan Kuper,
Jessica. 2008. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu
Sosial. Jilid II. Jakarta: Rajawali Pers; Miles, B. Matthew dan
Huberman, A. Michael. 1994. Qualitatif
Data Analysis. London: Sage Publication; Mulyana, Deddy. 2001. Ilmu Komunikasi. Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosda Karya; Poloma,
M. Margaret. 2010. Sosiologi Kontemporer.
Jakarta: Raja Grafindo Persada; Ritzer, George dan Goodman, J. Douglas. 2010. Teori Sosiologi Modern. Bandung:
Kencana; Soekanto. 1978. Sosiologi, Suatu
Pengantar. Jakarta: Universitas Indonesia Press; Susilo, Rachmad K. Dwi.
2012. Sosiologi Lingkungan. Jakarta:
Rajawali Pers; Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum; Zahari, Mulku. 1980. Darul Butuni, Sejarah dan Adatnya. Baubau: Tidak Diterbitkan.