Jurnal Ilmu Pengetahuan Umum
Home » » Kaombo: Kearifan Lokal tentang Hutan dan Lingkungan

Kaombo: Kearifan Lokal tentang Hutan dan Lingkungan

Written By Unknown on Senin, 27 Mei 2013 | 12.21

Lingkungan adalah satu variabel yang dapat memengaruhi manusia dalam hubungan interaksionalnya. Lingkungan sekaligus menjadi komponen penting fenomena sosial dalam bingkai utuh kebudayaan, secara khusus pada masyarakat Buton melalui sebuah kearifan lokal ynag disebut sebagai “kaombo”. Kaombo adalah kearifan lokal yang bersifat instrumental, sebab mengandung unsur normatif. Nilai kenormatifan kaombo termaktub dalam Undang-Undang Martabat Tujuh Kesultanan Buton, menggariskan ketentuan hukum tata laku masyarakat kaitannya dengan upaya pengelolaan dan pelestarian ekosistem lingkungan hayati. Oleh masyarakat Buton, kaombo merupakan seperangkat nilai yang bersifat mengikat dan memaksa. Disamping itu, kaombo juga diartikan sebagai barang sesuatu yang mengandung unsur magis, digantung pada tetanaman. Tujuannya untuk menghidarkannya dari perbuatan manusia secara tidak bertanggung jawab. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa: (i) kaombo adalah manisfestasi gugusan ide dan pengetahuan masyarakat Buton atas upayanya menciptakan harmonisasi hubungan antara manusia dengan lingkungan secara fisisnya. Oleh karena itu, ketercapaian peran Kaombo pada hakikanya merupakan upaya preventif dalam mencegah kemungkinan dampak buruk yang dapat ditimbulkan dari kerusakan ekosistem lingkungan (ii) kaombo merupakan gugusan ide, pegetahuan, dan kemajuan pola pikir manusia lokal dalam mengawal tata laku berkehidupan warganya sekaitan eksistensi keberadaan dan hubungan interaksinya dengan lingkungan, dan (iii) kaombo cukup potensial termanfaatkan sebagai perangkat instrumental dala upaya pengelolaan dan pelestarian lingkungan (Sebahagian dari isi catatan ini telah dipublikasikan pada Jurnal Sosiologi Dialektika Kontemporer. Volume I. Nomor I. Januari – Juni 2013. ISSN 2303 – 2324. Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar – La Ode Muhammad Deden Marrah Adil, S,Pd., M.Pd).

PENDAHULUAN
Modernisasi merupakan imbas dari globalisasi, yaitu keterbukaan interaksi antar satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Modernisasi ditandai dengan industrialisasi. Modernitas menyentuh aspek kebudayaan masyarakat dalam mana Archetti (Kuper dan Kuper, 2008: 671) mencirikannya ke dalam tiga bagian, yaitu: (1) dalam bidang budaya, pengandalan pada penalaran dan pengalaman menyebabkan pertumbuhan ilmu pengetahuan dan kesadaran ilmiah, sekularitas, dan rasionalitas instrumental (2) sebagai moda kehidupan didasarkan pada pertumbuhan masyarakat industri, mobilitas sosial, ekonomi pasar, kemelekan huruf, birokratisasi dan konsolidasi negara bangsa, dan (3) membesarkan sebuah konsepsi bahwa manusia adalah bebas, otonom, bisa mengendalikan diri dan refleksif. Oleh karena itu, industrialisasi sangat identik dengan meningkatnya produktivitas barang dan jasa untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Tidak terkecuali di bidang kehutanan yang ditandai dengan peralihan fungsi hutan untuk keseimbangan ekosistem alam menjadi kawasan industri seperti kelapa sawit, perkebunan teh, pohon jati produksi dan semacamnya. Di sisi lain, laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dan pergerakan masyarakat dari kota ke desa menuntut tersedianya pembukaan lahan-lahan hutan menjadi wilayah pemukiman penduduk. Belum lagi usahawan bermodal cukup yang berorientasi keuntungan menanamkan modal tertentu agar memperoleh wilayah hutan sehingga dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk kegiatan industrialisasi produksi barang dan jasa.

Negara dalam hal ini Pemerintah selaku pemegang kendali dan kebijakan pengelolaan dan pengadaan tanah bagi kepentingan umum sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Pasal 1 ayat 7 disebutkan bahwa “hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya”. Ayat ini bermakna paradoks, karena seolah-olah pemerintah dengan mudah dapat mengatur hak pengelolaan tanah sedangkan di sisi yang lain juga memberikan keleluasaan kepada pihak pemegang aset tanah (perorangan maupun korporasi) atas pengelolaan dan pemanfaatan tanah kawasan hutan sebagai sebuah industri yang dapat menghasilkan barang produksi bernilai komersil, mendatangkan keuntungan dari pajak penghasilan yang dapat diterima negara. Maka tidak mengherankan bilamana Pemerintah menerbitkan ketentuan hukum Hak Pengelolaan Hutan (HPH) kepada setiap warga negara atau korporasi/investor yang dianggap layak dan mampu memberi kontribusi kepada penambahan pundi-pundi uang/kas negara melalui pajak penghasilan produksinya, walau pada akhirnya berpotensi menggeser tatanan nilai dan struktur masyarakat Indonesia di daerah-daerah yang notabene masih berpegang pada nilai kearifan lokal, termasuk dalam hal ini Buton sebagai daerah tingkat II sekaligus bekas pusat wilayah Kesultanan Buton.

Sejatinya, pengelolaan dan pemanfaat sumber daya alam hayati dan hewani terutama untuk upaya konservasi hutan, harus dilakukan secara arif dan bijaksana, walaupun tata kelolanya dirancang dalam satuan sistem yang cukup kompleks, tetapi bertujuan untuk mewujudlahirkan kesejahteraan masyarakat.

Bagi Pemerintahan Kesultanan Buton hingga bubarnya tahun 1960, sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Martabat Tujuh wilayah hutan lindung disebut sebagai Kaombo, tersebar di empat wilayah Bharata (daerah kerajaan otonom) dan 72 wilayah Kadie (wilayah setingkat desa). Oleh karena itu, dalam transiterasi leksikalitas bahasa Buton, Kaombo bermakna “hutan larangan”, atau hutan lindung yang pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya alamnya yang tersedia diatur dan diawasi secara ketat oleh syarat Bharata/Kadie dengan ancaman hukuman tertentu (punishment), namun juga sebagai sebuah penghargaan (reward) bagi mereka yang ikut berjasa, berkontribusi di banyak aspek berkehidupan lingkup Pemerintahan Kesultanan Buton.

Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk membangun kesadaran masyarakat tentang arti penting membumikan kembali nilai-nilai kearifan lokal di setiap penjuru nusantara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dalam beberapa dekade terakhir cenderung materialis seiring pesatnya perkembangan modernisasi sebagai imbas dari globalisasi, yaitu berlangsungnya interaksi secara terbuka antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Mengapa, sebab nilai-nilai kearifan lokal ini merupakan komponen penting terbentuknya kebudayaan nasional, yang dalam perspektif sosiologis merupakan satu dari enam modal sosial (Social Capital) yang seharusnya dapat dioptimalkan untuk memampukan masyarakatnya bergerak secara dinamis dalam rangka perwujudan pembangunan. Demi terciptanya kehidupan bermasyarakat yang harmonis, stabil dan terhindar dari terciptanya ketegangan-ketegangan (konflik) antar struktur dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dimana nilai kearifan lokal itu bertumpu.

Kearifan lokal merupakan sumber nilai yang ada dalam satu kebudayaan masyarakat tertentu scara integral. Kearifan lokal adalah sebuah pranata yang mengarahkan warga masyarakatnya senantiasa tunduk dan taat sebagai norma-norma kebudayaan lokal. Oleh karena itu, kearifan lokal merupakan kerangka sistemik yang sifatnya sistemik dan berlaku mengikat perilaku warganya.

Kaombo sebagai kearifan lokal Buton merupakan sistem gagasan dan pengetahuan yang mengarahkan masyarakat senantiasa ikut serta dalam pelestarian kawasan hutan untuk menjaga harmonisasi interaksi manusia dengan alam. Dengan kata lain, Kaombo merupakan manifestasi simbolik masyarakat Buton terhadap sistem nilai dan norma kebudayaan lokal terhadap arti pentingnya menjaga dan melestarikan hutan, sehingga bukan saja mampu berkontribusi positif bagi aspek berkehidupan masyarakat, tetapi juga menghindarkannya dari dampak buruk kerusakan lingkungan hayati.

METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Dimaksudkan untuk mengeksplorasi berbagai informasi tentang Kaombo sebagai kearifan lokal masyarakat Buton. Data dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu data primer yang bersumber dari informan penelitian. Data sekunder berupa konsepsi teoritis tentang kearifan lokal yang bersumber dari berbagai narasi data. Data dianalisis secara deskriptif, melalui empat tahapan (Miles dan Hubermen, 1994; Ratna, 2010), yaitu: (1) data collection, pengumpulan data (2) data reduction, penyeleksian data secara representatif (3) data display, penyajian data sebagai suatu hasil analisis dan interpretasi terpadu, dan (4) conclution drawing atau verifying, adalah penarikan kesimpulan guna menjawab permasalahan penelitian. Berdasarkan analisis tersebut, maka penarikan kesimpulan penelitian diarahkan untuk mendeksripsikan peran kaombo dalam pengelolaan lingkungan, dinamika penafsiran simbolik atas kaombo oleh masyarakat, dan prospek kaombo dalam pengelolaan lingkungan.

PEMBAHASAN
Sosiologi secara umum masih menfokuskan diri pada kajian tentang dinamika hubungan antar individu, maupun individu dengan kelompok. Dalam hal ini, hubungan interpersonal dan intra personal manusia masih menjadi titik tekan utamanya. Padahal, terciptanya hubungan interaksi itu tidak dapat terhindar dari adanya variabel lain yang dapat memengaruhinya, termasuk dalam hal ini adalah lingkungan yang secara integratif juga sebagai fenomena sosial.

Sama kita pahami bahwa, struktur dan sistem pengetahuan manusia bergerak dari yang paling sederhana ke yang paling kompleks. Proses berpikir itu kemudian menjadi ide, konsep lalu diinterpretasi hingga akhirnya teraktualisasi dalam kehidupan nyata membentuk realitas hidup masyarakat, baik secara obyektif maupun subyektif. Sistem pengetahuan tersebut selanjutnya menjadi gugusan komponen sistem kebudayaan sebagai puncak tertinggi output dan outcomenya. Oleh karena itu, kebudayaan merupakan suatu proses yang sangat kompleks.

Menyimak pengertian tersebut, maka untuk memahami manusia sebaik mungkin seyogyanya harus sesuai dengan konteks kebudayaan. Dengan kata lain, kebudayaan merupakan dimensi hidup yang tidak dapat dipisahkan dari rangkain tingkah laku manusia yang menciptakannya. Dengan kata lain, manusia lahir, tumbuh, dan berkembang bukan hanya ditentukan oleh lingkungan tetapi harus didukung oleh sistem kebudayaan yang telah diwujudkannya.

Kajian mengenai kebudayaan telah banyak dikemukakan para teoritikus. Salah satunya adalah Berger (Ritzer dan Goodman, 2010), yang mengartikulasikan kebudayaan sebagai produk pemikiran manusia yang sangat kompleks. Kebudayaan dalam hal ini sebagai hasil eksternalisasi manusia dalam rangka mengadaptasikan dirinya dengan alam, mengubahnya secara fisis dengan bantuan alat yang diciptakannya, berinteraksi dengan bahasa tertentu dan membangun seperangkat simbol-simbol untuk meresapi keseluruhan aspek berkehidupannya. Hasil kebudayaan tersebut kemudian coba di objektivasi untuk memperoleh nilai logis dari perspektif realitas kehidupan, dalam arti sejauh mana kebudayaan tersebut termakna, dan diinternalisasikan kembali dalam wujud berperilaku.

Peran Kaombo dalam Pengelolaan dan Pelestarian Lingkungan
Kaombo sebagai simbolisme kearifan lokal Buton berperan penting dalam pengelolaan dan pelestarian hutan maupun lingkungan hayati.   Arti pentingnya sejalan dengan simpulan teoritik Duncan, Catton dan Schainberg (Susilo, 2012: 6) mengemukakan hubungan erat antara manusia dengan lingkungan fisis, yang dalam perspektif sosiologisnya dapat diartikan sebagai dinamika modernitas kehidupan manusia yang terproyeksikan pada industrialisasi telah berkontribusi terhadap terjadinya degradasi lingkungan.

Hal tersebut searah makna tersirat uraian Blummer (1986: 78) kekhasan manusia dalam interaksinya dengan menggunakan simbol dalam proses interaksinya sebagai berikut: The term symbolic interaction refers, of course, to the peculiar and distinctive character of interaction as it takes place between human being. The peculiarity consist in the fact that human being interpret or "define" each other's actions instead of merely reacting to each other's actions.

Uraian di atas mendeskripsikan secara jelas jika simbol-simbol yang digunakan manusia dalam proses interaksi secara bersama-sama ditafsir/didefinisikan satu sama lain berdasarkan makna yang ada di balik tindakan. Artinya bahwa, perilaku tindakan orang perorang dalam proses interaksi mendapat respon atas sebuah stimulus. Dilakukan secara repetitif sehingga menjadi satu bentuk kebudayaan bagi manusia karena sudah bertransformasi menjadi suatu tindakan sosial.

Kebudayaan juga merupakan suatu proses belajar untuk menghasilkan bentuk-bentuk baru dengan mengakumulasikan pengetahuan dan keterampilan, yang tentu saja sifatnya positif (Soekanto, 1978: 8). Dengan demikian, pengetahuan dan keterampilan sebagaimana dimaksud adalah menyangkut nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi nafas budaya dalam gerak dinamika kehidupan sosial, dalam hal ini “Kaombo” sebagai salah satu ketentuan hukum yang diatur dalam Undang-Undang Martabat Tujuh Kesultanan Buton.

Zahari (1980:171) menguraikan bahwa, Hak-hak dan ketentuan hukum atas tanah di Kesultanan Buton sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Martabat Tujuh terdiri dari: (1) Turakia, adalah tanah yang diberikan kepada syarat kesultanan untuk keperluan tempat tinggal (2) Katampai, adalah tanah yang diberikan kepada syarat kesultanan atas jasa yang bersangkutan kepada kesultanan (3) Tanah pekuburan untuk masyarakat umum dan keluarga syarat kesultanan (4) Tanah dalam lingkungan Benteng Keraton, yaitu tanah kawasan pusat pemerintahan kesultanan Buton yang tidak dapat diperjualbelikan karena masyarakat kawasan hanya memiliki status pakai (5) Tanah bebas, yaitu tanah yang berada di luar status Turakia dan Katampai, dan (6) Kaombo, yaitu kawasan hutan lindung yang harus dilestarikan setiap wilayah Kadie (desa).

Kaombo sebagai komponen kebudayaan kesultanan Buton, merupakan seperangkat konsep dan ide tentang tata kelakuan yang harus dilaksanakan pemerintah (kesultanan) dan masyarakat yang terlembaga (legitimatif) dalam sistem peradatan terkait dengan pengelolaan hutan dan lingkungan secara arif dan bijaksana sehingga tidak menimbulkan kerugian dari dampak yang bisa diakibatkannya jika bertolak belakang dengan konsep dan ide Kaombo.

Dari beberapa informasi yang dihimpun penulis melalui wawancara langsung dengan salah seorang sejarawan dan budayawan lokal Buton (Syafiuddin, 2012) dijelaskan bahwa, Kaombo merupakan wi­layah hutan konservasi Pemerintah Kesultanan Buton yang segala sumber daya isinya terutama pohon/kayunya tidak boleh ditebang, dan secara khusus keberadaan hutan itu kini dikenal sebagai Hutan Lambusango, lalu oleh Lembaga Swadaya Masyarakat asing (Non Goverment Organization/NGO) asing dari berbagai negara telah dinyatakan sebagai paru-paru dunia, sehingga keberadaanya menjadi destinasi wisata, dan landscape model serta objek pengembangan ilmu pengetahuan hayati maupun hewani”.

Berdasarkan uraian di atas, maka sejatinya Kaombo merupakan suatu terminologi ilmiah lingkup kesultanan Buton khususnya tentang wujud nyata sistem konservasi hutan.  Kaombo diwujudupayakan oleh perseorangan atau masyarakat sekitar hutan (wilayah bharata/kadie) berdasarkan legalitas formal hukum pemerintahan kesultanan Buton. Oleh karena itu, segala isi, potensi sumber daya yang ada dalam hutan tersebut pengelolaannya harus melalui izin kesultanan. Hingga saat itu tidak ada masyarakat yang berani melakukan pembalakan, pencurian dan pemanfaatan isi hutan dengan alasan apapun. Dalam hal ini juga masyarakat memiliki kesadaran kolektif akan arti penting kelestarian ekosistem lingkungan.

Perspektif Interaksionisme Simbolik terhadap Kaombo
Disamping sebagai seperangkat konsep dan ide, Kaombo sekaligus sebagai sebuah komunikasi simbolik dalam keberlangsungan proses interaksi sosial kemasyarakatan. Bagaimana tidak, kaombo juga dicitrakan pada sebuah wadah tertentu, diikatkan pada setiap pohon/tanaman yang sebelumnya telah diberikan bacaan-bacaan magis (mantra) tententu dan bertujuan untuk melindungi tetanaman dari berbagai gangguan yang tidak diinginkan, misalnya gangguan hewan dan manusia secara tidak bertanggung jawab. 

Berdasarkan uraian di atas, maka tidak mengherankan apabila masyarakat umum yang semakin heteregon di Buton lebih mengenal Kaombo sebagai barang sesuatu yang memiliki daya magis/kekuatan mistikal, sebab umumnya digantungkan pada pohon buah-buahan atau lingkungan yang oleh pemiliknya dijaga kelola, walau pada hakikatnya juga berfungsi sebagai seperangkat konsep, ide dan pengetahuan tentang pengelolaan dan pelestarian tanah, hutan dan lingkungan, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Ketatanegaraan Kesultanan Buton. Oleh karena itu, pencitraan Kaombo sebagai barang sesuatu yang bernilai magis sesungguhnya tidak lebih dari sekedar transformasi Kaombo ke skala yang lebih mikro, sehingga membentuk sebagai seperangkat simbol tertentu yang digantung ikatkan pada pohon atau tanaman oleh pemiliknya.

Kaombo sebagai salah satu unsur penting kearifan nilai budaya smasyarakat Buton secara fungsional bersifat mengikat setiap anggota masyarakat menjalankan peran dan fungsinya sesuai dengan kaidah-kaidah dan tata nilai budaya (lokalitas Buton) dalam mewujudkan harmonisasi hidup manusia dengan lingkungan, terutama kepada alam.

Wilayah Kaombo sumber daya isinya tidak boleh dimanfaatkan sembarang rupa tanpa ada legalitas Pemerintahan Kesultanan Buton terhadap aktivitas ekplorasinya, terlebih lagi mengeksploitasi potensi sumber daya alamnya sebagaimana marak terjadi pada berbagai daerah di Indonesia, baik dilakukan oleh pemerintah melalui Hak Pengusahaan Hutan (HPH) maupun pihak ketiga (korporasi/investor lokal maupun asing).

Dengan demikian, Kaombo adalah satuan wilayah hutan secara terbatas, dibawah pengawasan sistem nilai oleh Pemerintah Kesultanan Buton saat itu, dan sejak berintegrasinya Kesultanan Buton ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka tanggung jawab tata kelola dan pengawasan terhadap Kaombo tersebut dilakukan sepenuhnya oleh Pemerintah Daerah setempat (Bupati/Walikota) dan instansi pemerintah terkait.

Dalam upaya konservasi hayati tersebut, Kaombo tidak saja sebagai sebuah cakupan wilayah hutan yang dikonservasi (dilindungi), tetapi juga merupakan tata nilai tertinggi yang dianut pahami Pemerintah Kesultanan Buton dan masyarakatnya dalam pengelolaan, dan pemanfaatan hutan secara tepat guna, berkesinambungan serta tidak menyebabkan adanya pengrusakan terhadap lingkungan. Oleh karena itu, sebagai sebuah tata nilai,  Kaombo merupakan seperangkat ide, konsep, gagasan dan pandangan terhadap upaya konservasi alam (hutan) dalam tata kelolanya dalam skala makro.

Mangunjaya, Heriyanto, dan Gholami (2007) dalam bukunya tentang upaya konservasi hutan berjudul “Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi dan Gerakan Lingkungan Hidup” menjelaskan bahwa: “Kaombo merupakan upaya reflektif masyarakat Buton t1erhadap rasa hormatnya kepada alam sehingga diperlukan usaha pelestarian berikut isi dan sumber daya yang ada di dalamnya. Dengan kata lain, Kaombo merupakan refleksi sistem ide, konsep, gagasan dan pandangan masyarakat Buton terhadap upaya konservasi alam. Lebih dari itu, Kaombo merupakan konstruksi pemikiran kosmologi, yaitu suatu wujud kebudayaan yang secara fungsional menjadi pedoman atau pengarah perilaku bagi manusia untuk bertindak sesuai anjuran yang terkandung dalam sistem nilai tersebut”.

Menyimak uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa, Kaombo erat kaitannya dengan sistem kepercayaan karena menyangkut pemahaman tentang simbol sebagai salah satu komponen kebudayaan lokal. Dengan demikian, secara artikulatif dapat menjadi sosok menakutkan karena dari banyak pengalaman empiris yang telah terjadi dalam lingkup masyarakat Buton, dampak buruk yang dapat ditimbulkan dari pengingkaran pantangan dan larangan yang terdapat di dalamnya bisa bermacam-macam, mulai dari yang terkecil/teringan, seperti terkena sakit secara tiba-tiba, sampai kepada yang terbesar/terberat, misalnya kematian.

Terlepas dari unsur magis/mistik yang terdapat dalam “Kaombo” sebagaimana penulis uraian dalam makna artikulatif simbolik sebelum ini, maka hutan konservasi sesungguhnya dari peristilahan hutan konservasi maupun hutan secara luas oleh Pemerintah Kesultanan Buton secara kultural merupakan suatu norma yang hendak mengatur serta mengarahkan moralitas (etika) masyarakatnya ke arah yang lebih manusiawi yang bersumber dari hati nurani, sekaligus perwujudan nilai normatif pengikat kolektivitas perilaku sosial masyarakat. Senada dengan uraian tersebut, Herimanto dan Winarno (2010: 141) mengemukakan relasi teoritik secara maknawi, bahwa moral berkaitan dengan nilai baik-buruk perbuatan manusia. Tindakan yang bermoral adalah tindakan manusia yang dilakukan secara sadar, mau, dan tahu serta tindakan itu berkenaan dengan nilai-nilai moral. Maka kedudukan Kaombo kaitannya dengan moral dalam perspektif interaksionisme simbolik merupakan pandangan yang didasarkan pada segenap asumsi bahwa, individu adalah obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang disepakati bersama. Senada dengan hal tersebut, Durkheim (Isambert, 2005: 190) menegaskan bahwa setiap pelanggaran moral memprovokasi intervensi oleh 'masyarakat untuk mencegah ini penyimpangan. Dengan kata lain, setiap fakta moral yang terdiri dari aturan perilaku yang menerapkan sanksi.

Esensi interaksionisme simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif ini berupaya untuk memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Teori ini menyarankan bahwa, perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Manusia bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling mereka. Dalam pandangan perspektif ini, sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegakan aturan-aturan, bukan aturan-aturan yang menciptakan dan menegakan kehidupan kelompok. Hal ini menegaskan bahwa, Kaombo sejatinya menciptakan tatanan keteraturan dalam pengelolaan dan pemanfaatan tanah, hutan dan lingkungan untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat.

Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Dalam pandangan interaksi simbolik, sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegaskan aturan-aturan, bukan aturan-aturan yang menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok. Mulyana, (2001: 70) menegaskan bahwa dalam konteks ini pula dikonstruksikan dalam proses interaksi, dan proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya, melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial.

Jika bertumpu pada pandangan Blumer (Poloma, 2010: 258) maka dapat dipahami bahwa simbolisme Kaombo bertumpu pada tiga premis utama, yaitu: (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka (2) makna tersebut berasal dan “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”, dan (3) makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung. Dengan demikian, Blumer menegaskan bahwa aktor memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokkan, dan mentransformir makna dalam hubungannya dengan situasi dimana dia ditempatkan dan arah tindakannya.

Berdasarkan ketiga premis perspektif interaksi simbolik tersebut, maka Kaombo sebagai hutan larangan pada hakikatnya merupakan realitas objektif pemerintahan Kesultanan Buton ketika itu, sebagai bagian dari pengorganisasian hutan dan hasil alamnya agar tidak dikelola secara massal oleh anggota masyarakat yang tidak berhak atau wilayah kadie (Desa) dimana Kaombo itu berada. Kemudian bergerak menjadi menjadi realitas subyektif manakala hutan dan lingkungan yang terjaga terus memberikan sumbangsi besar bagi kestabilan ekosistem hutan dan lingkungan (satwa dan petumbuhan yang ada di dalamnya) sehingga pencegahan terhadap kerusakan lingkungan di Pulau Buton merupakan upaya preventif yang telah dilakukan sejak dulu, bahkan terundangkan dalam Undang-Undang Martabat Tujuh Kesultanan Buton.

KESIMPULAN
Kearifan lokal merupakan komponen penting terbentuknya kebudayaan nasional. Kearifan lokal adalah satu dari enam komponen modal sosial (Social Capital) yang sejatinya mampu dioptimalkan dioptimalkan untuk memampukan masyarakatnya bergerak secara dinamis dalam rangka perwujudan pembangunan demi terciptanya kehidupan bermasyarakat yang harmonis, stabil dan tidak menciptakan ketegangan-ketegangan (konflik) antar struktur dalam tatanan kehidupan, secara khusus dimana nilai kearifan lokal itu bertumpu.

Menyimak berbagai paparan hasil pembahasan sebelum ini, maka penarikan kesimpulan penelitian ini setidaknya terarah pada tiga hal pokok, yaitu: (1) wujud harmonisasi masyarakat Buton dengan lingkungan dimanifestasikan ke dalam sistem nilai yang disebut sebegai “Kaombo”. Kaombo dimaksudkan sebagai satu bentuk tata laku yang sifatnya mengikat setiap masyarakat Buton agar senantiasa berlaku arif dan bijaksana dalam menjaga ekosistem lingkungan hidup. Ketercapaian peran Kaombo pada hakikanya merupakan upaya preventif dalam mencegah kemungkinan dampak buruk yang dapat ditimbulkan dari kerusakan ekosistem lingkungan (2) Walaupun kaombo dapat diinterpretasi secara berbeda oleh masyarakat, baik itu sifatnya sebagai sistem nilai dan norma kebudayaan lokal maupun simbolisme materil kebendaan dan termakna khusus mengandung unsur mistisme, kaombo tetap saja dipahami sebagai gugusan ide, pegetahuan, dan kemajuan pola pikir manusia lokal dalam mengawal tata laku berkehidupan warganya sekaitan eksistensi keberadaan dan hubungan interaksinya secara fisis dengan lingkungan, dan (3) prospektif kaombo sebagai sistem nilai dan simbolisme kebudayaan yang mengatur tata laku kehidupan lokalitasnya terhadap lingkungan cukup potensial termanfaatkan sebagai perangkat instrumental upaya pengelolaan dan pelestarian lingkungan dalam mewujudkan kemaslahatan hidup bersama. 

DAFTAR PUSTAKA
Blummer, Herbert. 1986. Symbolic Interacionism, Perspective and Method. Berkeley Los Angeles/London: University of California Press; Fachruddin M. Mangunjaya, Husain Heriyanto, Reza Gholami. 2007. Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi dan Gerakan Lingkungan Hidup. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia; Herimanto dan Minarno. 2010. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara; Isambert, Francois Andre. 2005. Durkheim’s Sociology Of Moral Facts. ISBN 0-203-16825-9 Master e-book ISBN. London and New York: Routledge; Kuper, Adam dan Kuper, Jessica. 2008. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jilid II. Jakarta: Rajawali Pers; Miles, B. Matthew dan Huberman, A. Michael. 1994. Qualitatif Data Analysis. London: Sage Publication; Mulyana, Deddy. 2001. Ilmu Komunikasi. Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosda Karya; Poloma, M. Margaret. 2010. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada; Ritzer, George dan Goodman, J. Douglas. 2010. Teori Sosiologi Modern. Bandung: Kencana; Soekanto. 1978. Sosiologi, Suatu Pengantar. Jakarta: Universitas Indonesia Press; Susilo, Rachmad K. Dwi. 2012. Sosiologi Lingkungan. Jakarta: Rajawali Pers; Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum; Zahari, Mulku. 1980. Darul Butuni, Sejarah dan Adatnya. Baubau: Tidak Diterbitkan.